Nationalgeographic.co.id—Hasil studi oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mendorong pemerintah Indonesia untuk memasukkan ekosistem karbon biru (EKB) ke dalam kategori modal alami yang penting (critical nature capital). Sebab, ekosistem ini sedang terancam rusak oleh manusia. Padahal, ekosistem ini berperan penting dalam mengendalikan perubahan iklim.
“Sekalipun EKB memiliki potensi yang besar dalam mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, kondisi EKB telah lama terancam oleh tekanan antropogenik," kata Direktur Utama IOJI Mas Achmad Santosa.
Santosa menyampaikan pentingnya EKB ini dalam seminar peluncuran hasil studi IOJI bertajuk “Ekosistem Karbon Biru sebagai Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance di Indonesia” pada Senin kemarin.
"Ketika terdegradasi, EKB akan beralih dari penyerap karbon menjadi pelepas emisi karbon yang signifikan. Degradasi juga merusak perlindungan ekosistem pesisir, serta mengancam penghidupan masyarakat yang bergantung pada EKB,” tambahnya.
Santosa menegaskan peran EKB sudah sangat jelas. EKB adalah solusi berbasis laut (ocean-based solution) sekaligus sebagai critical natural capital untuk pengendalian perubahan iklim. Selama ini EKB juga telah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir.
Menurut Santosa, setidaknya ada 6 (enam) elemen tata kelola EKB yang perlu dikembangkan dan diperkuat di Indonesia yang merupakan fokus dari penulisan studi IOJI ini. Pertama adalah kerangka hukum dan kebijakan nasional. Kedua, penataan kelembagaan. Ketiga, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Lalu keempat adalah keamanan tenurial. Kelima, pengawasan dan penegakan hukum. Dan keenam, pendanaan dan pendistribusian manfaat secara berkeadilan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya menyampaikan bahwa kajian EKB yang disusun IOJI telah cukup menjelaskan potensi besar EKB sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage). Dengan demikian, jelas bahwa EKB berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Studi EKB ini dibuat dengan mengintegrasikan ekosistem laut yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, estuaria atau rawa air payau/rawa air asin, dan terumbu karang.
"Jika atas dasar paradigma ecosystem base, maka diantara bagian-bagian studi tersebut menjadi sangat relevan dengan agenda FOLU Net Sink 2030 yang menjadi tekad kita sebagai bangsa," ujar Siti Nurbaya.
Siti juga menyatakan bahwa hasil studi ini akan bisa menjadi arahan dalam tata kelola (governance) di Indonesia terkait karbon dengan paradigma berbasis ekosistem (ecosystem based).
Baca Juga: Kebanyakan Sampah Plastik di Pantai Afrika Ini Berasal dari Indonesia
Baca Juga: Ekspedisi Sungai Nusantara 2022: Sungai Indonesia Banjir Mikroplastik
Baca Juga: Korupsi Memicu Parahnya Emisi Karbon di Asia, termasuk Indonesia
Tata kelola ini mencakup aspek-aspek regulasi, institusi, proses, sistem dan prosedur, partisipasi masyarakat, sistem pembiayaan, data base, dan policy excercise and policy making, serta interaksi nasional (pemerintah pusat) dan subnasional (masyarakat, swasta, pemerintah daerah).
Selain itu menckup pula terkait bagaimana pola koersif dan koperatif bisa terbangun dan terjalin baik berkenaan dengan karbon yang dapat dielaborasi, seperti dalam hal peran, tekanan, mandat antarlembaga, pengendalian, asumsi implementasi, sumber inovasi kebijakan dan penekanan implementasi menuju Carbon Governance.
"Saya sangat menghargai bila usaha awal IOJI ini dapat berkembang pada langkah-langkah lanjut dalam upaya Indonesia kita menuju Carbon Governance dengan berbagai kemajuan kerja yang telah kita miliki," tutur Menteri Siti.
"Saya optimis juga pada sektor ocean (laut) dan wetland (lahan basah) di mana pada konteks wetland sebagai ekosistem sangat erat relevansi kerja bersama KLHK," ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa saat ini program terkait karbon biru cenderung berfokus hanya pada satu jenis ekosistem, yaitu mangrove. Jadi, menurutnya, perkembangan karbon biru di Indonesia juga perlu memperhitungkan ekosistem karbon biru penting lain, yaitu ekosistem lamun.
Trenggono juga menjelaskan bahwa pengelolaan karbon biru dalam konteks perubahan iklim merupakan bagian penting pada dua dari lima kebijakan Ekonomi Biru yang sedang didorong KKP. Keduanya adalah perluasan Kawasan Konservasi Laut hingga 30% di tahun 2045 dan Pengelolaan Berkelanjutan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Dengan memperluas kawasan konservasi menjadi 30%, maka ekosistem lamun dan mangrove yang berada di kawasan konservasi berpotensi menyerap sekitar 188 juta ton CO2eq,” ucap Trenggono.
Lima kebijakan Ekonomi Biru yang sedang didorong KKP disebutnya meliputi memperluas dan menetapkan kawasan konservasi baru hingga 30%, perikanan tangkap terukur berbasis kuota, dan pembangunan perikanan budidaya laut.
Lalu ada pula kebijakan berupa pesisir dan darat yang ramah lingkungan, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pengelolaan sampah plastik di laut.
Sampah plastik terlah menjadi masalah besar di Indonesia. Sebuah studi dari Ekspedisi Sungai Nusantara 2022 menyebutkan bahwa sungai-sungai Indonesia telah kebanjiran mikroplastik alias tercemar plastik.
Aliran sungai-sungai ini bermuara ke laut dan tentu saja mencemari perairan laut Indonesia dan pada akhirnya bisa merusak ekosistem karbon biru.
Sebuah studi lain dari Jambeck (2015) menyebutkan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Studi terbaru menyebutkan bahwa sampah-sampah plastik dari Indonesia telah mencemari pantai-pantai di Afrika.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR