Nationalgeographic.co.id – Pada 2018, Rich Horner seorang penyelam berkebangsaan Inggris, menceritakan kisah “menyeramkan” ketika menyelam di Manta Point, salah satu spot diving terkemuka di Nusa Penida, Bali.
Menurut kisah Horner kepada BBC News, Rabu (7/3/2018), titik penyelaman yang terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya tersebut dipenuhi sampah plastik.
Horner mengatakan, dirinya sempat terjebak di antara sampah-sampah plastik ketika sedang menyelam. Sampah-sampah berkumpul menjadi gumpalan yang menyerupai koloni ubur-ubur.
Kamera yang saat itu ia gunakan untuk mendokumentasikan pengalaman menyelamnya di Manta Point, merekam kejadian tersebut. Bukan keindahan biota laut yang ia dapat dari penyelaman hari itu, melainkan perasaan tidak percaya dan khawatir akan kelestarian laut.
Baca Juga: Berkat Arus Panas Pasifik, Manusia Purba Mulai Bermukim di Amerika
“Pengalaman tersebut tidak biasa, mengerikan,” ujar Horner kepada BBC News.
Video berdurasi kurang lebih satu menit tersebut kemudian diunggah oleh BBC News ke akun Instagram resminya. Dalam waktu singkat, video tersebut menjadi viral. Unggahan tersebut mengundang pertanyaan, dari mana datangnya sampah-sampah plastik yang terhanyut di lautan Indonesia tersebut?
Jika ditelisik dari lokasinya, Laut Bali merupakan titik pertemuan antara arus Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sampah-sampah tersebut bisa jadi adalah limbah dari warga lokal Bali. Seperti diketahui, sebagai pulau yang jadi magnet turis, Bali sempat mengalami kesulitan pengolahan sampah.
Namun, tidak tertutup kemungkinan, sampah-sampah tersebut hanyut terbawa oleh arus Samudra Pasifik dari pulau dan benua lain.
“Plastik yang saya lihat sebagian besar memiliki label Indonesia, tetapi karena arusnya bisa datang dari mana saja di Indonesia, Filipina, Malaysia (atau) sekitarnya," kata Horner.
Baca Juga: Arkeolog Temukan Kemungkinan Manusia Purba Melakukan Hibernasi
Terlepas dari perdebatan soal asal sampah-sampah plastik yang ditemukan Horner di Manta Point, situasi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di darat dan sampah laut (marine debris) menjadi pekerjaan rumah yang mesti dibenahi.
Pada 2015, Jenna Jambeck dari University of Georgia Beck mempublikasikan penelitannya dengan judul Plastic Waste Inputs from Land Into The Ocean yang menyebut, Indonesia merupakan kontributor sampah plastik terbanyak kedua setelah China.
Estimasi total sampah yang dihasilkan Indonesia adalah 0,48-1,29 metrik ton per tahun. Jika tidak ditangani, jumlah sampah yang terhanyut ke laut setiap tahunnya dapat meningkat.
Berawal dari buruknya pengelolaan sampah darat
Dikutip dari publikasi Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI pada 2018, kemunculan sampah plastik di lautan Indonesia, berawal dari sampah plastik yang tidak terkelola di daratan.
Baca Juga: Kisah Pelacur dan Pelacuran Pada Zaman Perdagangan Jalur Rempah
Persentasenya pun tidak main-main. Sebanyak 80 persen sampah di laut berasal dari aktivitas manusia di daratan.
Sampah tersebut digerakkan ke laut oleh badan-badan air seperti sungai yang bermuara ke lautan. Sebanyak 20 persen sisanya berasal dari kegiatan perkapalan, transportasi laut, hingga pariwisata.
Dikutip dari Asosiasi Aromatik Olefin dan Plastik Indonesia (INAPLAS) pada 2017, sampah plastik di lautan kerap didominasi kantong plastik dan plastik kemasan dengan persentase masing-masing sebanyak 52 persen dan 16 persen.
Sampah plastik memiliki masa yang ringan sehingga akan berkumpul di permukaan air ketika lautan tenang. Namun, ketika terdorong ombak atau pasang, sampah plastik akan berpindah ke pesisir pantai dan terselip di balik bebatuan karang atau vegetasi. Bukan cuma biota di laut, ekosistem pesisir ikut terancam.
Baca Juga: Menguak Keberadaan Negeri Punt Lewat Perdagangan Babun era Mesir Kuno
Ironisnya, sampah-sampah tersebut akan tetap berada di sana jika tidak ada manusia yang membersihkannya.
Penelitian Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) tahun 2020 menyebut, ada wilayah yang disebut sebagai zona sampah laut yaitu area berkumpulnya sampah di pesisir yang jaraknya 8 kilometer dari tepi pantai.
“Konsentrasi tertinggi dari polusi di sepanjang pantai adalah plastik. Semakin jauh kami pergi dari pantai, semakin banyak puing yang ditemukan,” tulis Chris Wilcox peneliti senior CSIRO dalam laporan tersebut.
Sementara itu, penelitian ini juga menemukan jika kawasan padat penduduk di pesisir turut menyebabkan berkumpulnya sampah plastik tersebut.
Baca Juga: Zwarte Sinterklaas, Eksodus Masyarakat Sipil Belanda dari Indonesia
Latar belakang lain soal sampah ini adalah faktor letak geografis Indonesia yang terdiri atas 71 persen lautan, sehingga membuat wilayah perairannya rentan memperoleh sampah plastik impor. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin keberadaan biota laut dan isinya akan terus mengalami kerusakan.
Sebab, sampah plastik yang berada di lautan dalam waktu lama akan terpecah menjadi mikroplastik, yaitu partikel-partikel plastik kecil berukuran 0,3 sampai 5 milimeter, yang berisiko tertelan oleh hewan-hewan laut.
Dikutip dari laman Indonesia.go.id, diperkirakan mikroplastik yang ada di laut Indonesia saat ini berada di kisaran 30-960 partikel per liter. Jumlah ini sama dengan mikroplastik yang ditemukan pada air laut Samudera Pasifik dan Laut Mediterania.
Upaya penanggulangan dari berbagai pihak
Melihat fenomena ini, pemerintah telah melakukan berbagai inisiatif untuk mengatasi persoalan sampah laut. Di antaranya melalui visi Indonesia Bersih Sampah pada 2025, serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
Baca Juga: Melihat Ulang Bagaimana Sudut Pandang Menjadi Seorang Pejalan
Pemerintah secara bertahap juga terus mendorong pelaksanaan ekonomi sirkular melalui pengelolaan sampah plastik yaitu gerakan reduce, reuse, dan recycle (3R).
Selain itu, pemerintah juga menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melaksanakan penanganan sampah plastik di laut.
KKP menjanjikan pembangunan kapal-kapal sampah untuk mengumpulkan sampah plastik di lautan. Sementara itu, KLHK dan Kementerian ESDM akan terlibat dalam penanganan sampah dengan memanfaatkan teknologi refuse derived fuel (RDF) yang akan mengolah sampah untuk menghasilkan bahan bakar alternatif.
Meski begitu, penanganan limbah sampah bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama. Contohnya seperti yang dilakukan PT ASDP Indonesia Ferry.
Baca Juga: Untold Flores: Berbagi Cerita Tentang Makna Sebuah Perjalanan
Guna mendukung visi Indonesia Bersih Sampah 2025, PT ASDP Indonesia Ferry yang mengelola bisnis penyeberangan laut turut melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah lautan.
Di antaranya melalui pengelolaan limbah padat serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), pemberian bantuan berupa kapal pengeruk sampah lautan di Maluku, manajemen limbah di dalam kapal ferry, serta penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk kegiatan operasional sehari-hari.
Sebagai langkah edukasi bagi penumpang dan pegawai, PT ASDP berkolaborasi dengan National Geographic Indonesia untuk memberikan edukasi seputar sampah dan sampah laut melalui kampanye Merajut Nusantara.
Pada periode 24-26 Desember 2020, ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan Tim National Geographic Indonesia akan menggelar acara berkonsep edutainment. Acara ini akan menghadirkan talk show dan stand up comedy di atas kapal yang berlayar dari Pelabuhan Merak, Banten ke Pelabuhan Bakauheni.
Baca Juga: Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Wilayah Wolotolo-Ende Lio
Talk show dan stand up comedy akan membahas dampak sampah laut terhadap kelestarian lingkungan hidup, keberlanjutan sumber daya laut, dan kesehatan masyarakat.
Tak hanya itu, penumpang akan diajak menukarkan sampah plastik dengan merchandise menarik. Selain itu, akan disiapkan instalasi pembuangan sampah khusus di dalam kapal maupun pelabuhan-pelabuhan milik PT ASDP.
Sampah-sampah yang terkumpul akan diolah menjadi barang-barang yang bermanfaat.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR