Cerita oleh Rio Nanto dan foto oleh Mikael Jefrison Leo
Nationalgeographic.co.id—Setiap kampung adat di Flores memiliki unsur penting yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat yang mendiaminya. Seperti kampung tradisional di wilayah Lio-Ende dengan bentuk denah dan rumah yang khas.
Setiap kampung Lio-Ende pada umumnya dikelilingi pagar baru (kota). Di pinggir luar kampung terdapat sejumlah lumbung (kebo) dan pohon beringin besar. Rumah-rumah masyarakat letaknya membentuk lingkaran mengelilingi pelataran utama yang terdiri atas keda (rumah leluhur), sa’o ria (rumah induk), kanga (pelataran tempat upacara). Di tengah kanga didirikan sebuah tiang batu (tubu/musumase) dengan sebuah batu ceper di bawahnya (lodo nda), tempat dilaksanakan ritus-ritus adat.
Untuk membentuk sebuah kampung adat baru bagi masyarakat di Ende Lio perlu adanya tiga unsur penting yaitu tubumusu, keda, dan kanga. Tiga elemen ini menjadi pusat perhatian dari sebuah kampung adat. Menariknya, bahwa tidak semua kampung di wilayah Ende Lio bisa membuka kampung adat baru. Yang berhak membuka kampung baru dengan tiga unsur pembentuknya adalah seseorang atau kampung yang memiliki relasi kekerabatan atau keturuan langsung Embu Nggoro-Lepembusu yang merupakan nenek moyang pertama orang Ende Lio.
Salah satu kampung adat yang memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan Embu Nggoro-Lepembusu ialah kampung adat Wolotolo. Pemilihan nama kampung ini berdasarkan letak geografisnya yang berada di ketinggian.
Secara etimologis Wolotolo berasal dari dua kata dari bahasa Lio, yakni wolo yang berarti bukit/gunung dan tolo berarti ketinggian. Berdasarkan asal katanya, Wolotolo berarti bukit di atas ketinggian. Pada umumnya masyarakat di Lio memilih untuk menetap di tempat yang tinggi untuk memantau keadaan di dataran rendah.
Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda
Tubumusu berasal dari dua kata Lio yakni tubu yang berarti pangkal yang tersisa ketika dipotong (dalam konteks ini adalah batu) dan musu berarti mengisap atau isap. Secara harfiah, Tubumusu berarti batu pengisap. Tubumusu secara khusus ialah sebuah batu keramat yang terletak di tengah kampung. Bagi orang Wolotolo, tubumusu menjadi tempat warga kampung mempersembahkan sesajen untuk memohon kepada Du’a Nggae (wujud tertinggi).
Proses pembuatan tubumusu diawali dengan pertemuan para mosalaki (tua adat). Biasanya pemilihan batu tubumusu diambil dari wilayah tanah ulayat sendiri. Sebelum batu tersebut diantar ke kampung terlebih dahulu diperciki dengan darah kerbau. Pada waktu diarak ke kampung, tubumusu dibungkus dengan kain adat dan diiringi dengan tarian. Sebelum batu tersebut didirikan, terlebih dahulu warga menggali lubang dan membuat dasar yang kuat.
Kemudian Keda yang dalam bahasa Lio berarti bangunan tradisional dengan atap alang-alang yang menjulang tinggi. Keda digunakan sebagai balai musyawarah para pemuka adat atau mosalaki, tempat penyimpanan benda-benda peninggalan sejarah, sebagai simbol manusia pertama, sebagai tempat tinggal roh-roh serta diyakini bahwa bangunan ini memiliki hubungan spiritual.
Terakhir Kanga, merupakan pelataran suci di tengah-tengah kampung adat yang berdekatan dengan keda dengan luas sekitar 10 meter. Pada bagian pusatnya terdapat tubumusu. Kanga juga menjadi pusat segala ritus keagamaan asli suku Lio. Ia diasosiasikan oleh masyarakat Lio sebagai simbol perempuan dan tubumusu sebagai figur laki-laki. Perkawinan kosmos yang terjadi akhirnya melahirkan kelimpahan bagi manusia melalui rahim kanga.
Kanga sebagai pelataran suci di kampung adat Wolotolo memiliki enam buah tangga dari susunan batu alam. Dua buah tangga di depan pintu masuk memiliki fungsi yang berbeda. Bagian kanan khusus untuk manusia sedangkan bagian kiri hanya untuk hewan kurban.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR