Nationalgeographic.co.id—Sejak memasuki abad ke-20, tumbuhnya intelektualisme karena dampak positif Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial, secara tidak langsung membentuk pemikiran kritis dan memupuk semangat nasionalisme pribumi.
Bersamaan dengan itu, mulai muncul tokoh-tokoh dari kalangan pribumi yang menggairahkan jurnalisme dan membangun semangat nasionalisme lewat pers. Salah satunya ialah Marco Kartodikromo atau dikenal "Mas Marco."
"Kiprah Marco Kartodikromo sebagai seorang jurnalis zaman pergerakan banyak mewarnai berbagai surat kabar yang pernah berdiri," tulis Tony Firman dalam skripsinya kepada Universitas Brawijaya.
Ia menulis skripsi berjudul Marco Kartodikromo: Tokoh Jurnalis Zaman Pergerakan dari Blora (Studi Deskriptif Pemikiran dan Pergerakan Marco Kartodikromo dalam Pers Indonesia Masa Kolonialisme Hindia Belanda) yang terbit tahun 2017.
Mas Marco—nama akrabnya dalam buku gubahannya sendiri berjudul Student Hidjo (1918)—melibatkan dirinya dalam pusaran pers dan jurnalisme Hindia Belanda.
Tulisannya pernah dimuat di berbagai surat kabar yang menggelanggangi jurnalisme pribumi seperti Doenia Bergerak, Sarotomo, Pantjaran Warna, Sinar Hindia, Sinar Djawa, Hidoep dan Habromarkoto.
Tulisannya yang tajam dengan penggunaan bahasa Melayu Rendahan atau Melayu Pasar, telah berhasil menyerukan perjuangan perlawanan sekaligus membuat pemerintah kolonial geram hingga menjebloskannya ke penjara beberapa kali.
Marco Kartodikromo menoreh sejarah dengan mendirikan organisasi yang mewadahi para jurnalis pribumi, bahkan yang dianggap organisasi pers pertama bernama Inlandsche Journalistenbond (IJB) di Surakarta pada pertengahan 1914.
Setelahnya ia mendirikan surat kabar Doenia Bergerak sebagai corong propaganda dalam menyuarakan aspirasi, melontar kritik dan menggalakkan narasi perlawanan kepada pemerintah Belanda.
Bisa dikatakan bahwa Mas Marco muncul sebagai seorang tokoh dalam "suasana hiruk-pikuk menjamurnya perang suara melalui sederet surat kabar yang bermunculan pada masa-masa perjuangan bangsa," imbuh Tony.
Kemampuan menulisnya tumbuh dari dua sosok guru. Dua guru Marco Kartodikromo ini punya riwayat sebagai penulis sohor pada zamanya itu—bahkan hingga hari ini—ialah Soewardi Soeryaningrat dan Tirto Adhi Soerjo.
Medan Prijaji yang didirikan oleh gurunya, Tirto, menjadi inspirasi bagi Marco untuk mendirikan surat kabar Doenia Bergerak. Namun, sebelum merintis surat kabar sendiri, pergulatan pemikirannya sudah ia tuangkan dalam surat kabar Sarotomo di Solo.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Repository UB |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR