Bagaimana jika sebuah prasasti yang selama puluhan tahun dianggap sebagai bukti keberadaan sebuah kerajaan ternyata telah salah ditafsirkan?
Bahkan, lebih jauh kerajaan yang dimaksud pada akhirnya sampai dianggap sebagai sebuah kerajaan fiktif.
Kira-kira, seperti itulah kehebohan yang terjadi di Indonesia, khususnya para arkeolog dan sejarawan pada 2019.
Kala itu, budayawan Ridwan Saidi menyebut Sriwijaya sebagai sebagai sebuah kerajaan fiktif.
Kerajaan yang bersama Majapahit membantu proses integrasi antar pulau pada masa Hindu-Buddha tersebut diklaim Ridwan telah dia pelajari sendiri selama 30 tahun.
Ridwan menuding para arkeolog telah salah menafsirkan prasasti-prasasti yang selama ini dijadikan bukti keberadaan kerajaan Sriwijaya.
Dia menganggap prasasti-prasasti tersebut diukir menggunakan bahasa Armenia dan sama sekali tak membicarakan tentang kerajaan.
"Saya sudah 30 tahun mempelajari bahasa-bahasa kuno. Banyak kesalahan mereka (arkeolog), prasasti di Jawa dan Sumatera adalah bahasa Melayu, tapi sebenarnya bahasa Armenia," ujar Ridwan, seperti dilansir dari Kompas.com.
"Oleh arkeolog dipukul rata itu bahasa Sanskerta. Itu yang harus dikoreksi, masa enggak boleh dikoreksi."
Ridwan bahkan menantang orang-orang yang tidak sependapat dengannya untuk menunjukkan bukti dari kerajaan yang angkatan lautnya runtuh usai kemunculan Majapahit tersebut.
"Bantahlah argumentasi saya bahwa menggunakan prasasti Kedukan Bukit (sebagai bukti adanya Kerajaan Sriwijaya) salah. Karena yang mereka (arkeolog) andalkan itu. Maka, saya katakan Kerajaan Sriwijaya itu fiktif," lanjut Ridwan.
Terkait prasasti Kedukan Bukit yang disebut oleh Ridwan, Irfan N.K.S. dalam buku Kerajaan Sriwijaya: Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya menyebut bahwa prasasti tersebut merupakan bukti kemajuan pelayaran di Indonesia pada masa Hindu-Buddha.
Selain itu, prasasti tersebut juga diangggap mengisahkan tentang keberhasilan perjalanan penguasa Kerajaan Sriwijaya yang memiliki gelar Dapunta Hyang.
Sosok tersebut, merujuk pada prasasti tersebut, memiliki puluhan ribu tentara dan telah berhasil menaklukan daerah-daerah lain.
Penulis | : | Ade S |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR