Nationalgeiographic.co.id—Fenomena tak punya anak bukanlah hal baru. Orang-orang kini punya sebutan eksklusif bagi pilihan sukarela untuk tak memiliki anak (voluntary childlessness), yakni childfree.
Apa pun sebutan eksklusif tersebut atau pilihan orang-orang yang menganutnya, fenomena semacam itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang unik. Sebab, orang-orang zaman dahulu juga telah melakukannya meski tanpa kampanye dan tanpa membuat istilah ekslusif untuk membanggakannya.
Memang, saat ini fenomena untuk tak mempunyai anak semakin tinggi. Jumlah orang yang tak memiliki anak semakin banyak.
The Washington Post mencatat, pada abad ke-21, jutaan wanita di seluruh dunia akan mencapai usia 45 tahun tanpa melahirkan. Beberapa akan mengalami kemandulan, yang lain akan memilih tidak memiliki anak di awal kehidupan, dan banyak yang akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memperdebatkan apakah akan memiliki anak.
Namun, yang jelas, tidak memiliki anak bukanlah sesuatu yang baru. "Sangat mudah untuk mengasosiasikan penyak tidak memiliki anak dengan perkembangan sejarah modern seperti pil, feminisme gelombang kedua, atau bahkan periode kemerosotan ekonomi atau perang," tulis Rachel Chrastil di The Washington Post.
Chrastil adalah profesor sejarah di Xavier University dan penulis buku "How to Be Childless: A History and Philosophy of Life Without Children."
"Namun kenyataannya, tidak memiliki anak -baik karena sifat, keadaan atau pilihan- telah ada pada wanita di Amerika Serikat dan di seluruh Eropa barat laut, Kanada, dan Australia selama berabad-abad," beber Chrastil.
Pada intinya keputusan untuk memiliki anak terkait dengan sesuatu yang jauh lebih tua: institusi pernikahan. Dan perubahan waktu dan signifikansi pernikahan selama empat abad terakhir telah memberi wanita lebih banyak kendali atas keputusan biologis tentang anak-anak.
"Bahkan ketika perubahan-perubahan ini telah memperkuat signifikansi pernikahan sebagai sebuah institusi, mereka juga membuat institusi tersebut menjadi kurang terkait prokreasi (hubungan intim untuk menghasilkan keturunan) dan lebih banyak tentang peluang ekonomi dan pemenuhan pribadi)."
Setelah Abad Pertengahan, sekitar awal tahun 1500-an, banyak wanita di kota-kota dan desa-desa di barat laut Eropa mulai menunda pernikahan hingga pertengahan usia 20-an. Mereka tidak lagi menikah di usia remaja awal, ketika mereka pertama kali secara biologis mampu menjadi ibu.
Alih-alih menikah muda dan bergabung dengan rumah tangga mertuanya, mereka sekarang ingin mendirikan rumah tangga mandiri, yang memakan waktu dan uang. Sebagai orang dewasa muda, mereka bekerja untuk menabung untuk mahar, untuk membeli seprai dan panci serta wajan rumah tangga yang akan bertahan selama pernikahan mereka.
Ironisnya, gagasan pernikahan yang meninggi ini membuka lebar kemungkinan bahwa banyak orang tidak akan pernah menikah, dan tidak akan pernah memiliki anak sama sekali. Begitu individu menunda pernikahan, kombinasi pilihan pribadi dan kendala ekonomi, budaya, dan biologis membentuk hasil fertilitas.
Hal ini membuat orang-orang yang tidak memiliki anak jadi lebih umum. Di kota-kota pra-revolusi Prancis, 15 hingga 22 persen populasi orang dewasa tetap melajang dan, kemungkinan, tanpa anak.
Pendekatan baru terhadap pernikahan dan keibuan ini memberi wanita lebih banyak fleksibilitas dan kemandirian.
Dalam beberapa tahun terakhir, para sejarawan telah mengungkap catatan menakjubkan tentang kapasitas wanita modern awal untuk menghidupi diri mereka sendiri sebagai pembantu rumah tangga, pedagang, penjahit wanita, pemberi pinjaman uang, binatu, dan dalam banyak perdagangan lainnya.
Beberapa wanita, seperti penyair Mary Masters, berdamai dengan tidak pernah menjadi ibu.
Di seberang Atlantik di koloni Amerika, tidak memiliki anak seumur hidup lebih jarang terjadi. Di antara para pemukim Eropa, perintah alkitabiah untuk "berbuah dan berkembang biak" dan kebutuhan anak-anak untuk bekerja di ladang menyebabkan pernikahan dini dan banyak keturunan.
Namun demikian, pada tahun 1800-an, tingkat kelajangan di antara wanita kulit putih di Amerika Serikat meningkat sejalan dengan Eropa Barat, karena lebih banyak wanita percaya bahwa mereka dapat melakukan pekerjaan yang mereka pedulikan dan berjuang untuk kesetaraan dan hak pilih tanpa beban membesarkan anak.
Terlebih lagi, pada akhir 1800-an, pernikahan dan melahirkan anak perlahan-lahan menjadi terpisah. Lebih banyak wanita -terutama wanita perkotaan dan mereka yang tinggal di New England- mulai membatasi melahirkan anak dalam pernikahan, bahkan jika mereka menikah selama masa subur mereka.
Dengan industrialisasi dan demokratisasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat, standar hidup yang lebih baik dan tingkat pendidikan wanita yang lebih tinggi membuat lebih banyak pasangan sadar akan pengendalian kelahiran. Pengetahuan ini sering tidak terucapkan karena kendala hukum dan ketakutan akan ketidakwajaran.
Namun, pasangan ini melihat kontrasepsi sebagai sarana untuk fokus pada pekerjaan dan filantropi. Selain itu, pengendalian kelahiran ini juga mereka gunakan untuk menghindari kematian yang menakutkan saat melahirkan, bahkan jika spons dan pesarium tidak terlalu dapat diandalkan.
"Kombinasi wanita yang memilih untuk menolak menikah atau menjadi ibu ini berarti tingkat tanpa anak mencapai puncaknya pada tahun 1900-an. Setidaknya 1 dari 5 wanita Amerika yang lahir antara tahun 1885 dan 1915 tidak pernah memiliki anak," tulis Rachel Chrastil.
Baca Juga: Kisah Ma Barker, Ibu dalam Pusaran Kriminalitas Anak-anaknya
Baca Juga: Mengapa Seorang Ayah Bisa Jadi 'Predator' Bagi Anaknya Sendiri?
Baca Juga: Hak Ayah Menjual Anak dan Tiga Fakta Aneh Lainnya di Zaman Romawi
Tingkat tak punya anak yang serupa terjadi di seluruh Eropa Barat, Kanada, dan Australia. Tentu saja, ini berubah dengan ledakan bayi pasca-Perang Dunia II, ketika keluarga menjadi tempat berlindung dari kengerian Perang Dunia II dan ketakutan akan Perang Dingin.
Di Amerika Serikat, pemerintah federal mendukung pembentukan keluarga melalui GI Bill dan kredit pajak. Wanita yang lahir sekitar tahun 1935, yang tumbuh dewasa setelah perang, memiliki tingkat ketiadaan anak terendah dalam catatan: hanya 10 persen di Amerika Serikat.
Namun, tren ini bukan hanya anomali sejarah, melainkan juga berumur pendek. Pada tahun 1970-an, alat kontrasepsi yang lebih andal, diskusi terus terang tentang seksualitas, dan klaim terbuka perempuan untuk mengendalikan tubuh mereka sendiri menyebabkan kenaikan fenomena tak punya anak lagi.
Banyak wanita mengulangi argumen yang sama dengan pendahulu mereka yang tidak memiliki anak mengenai peluang ekonomi, kemandirian, dan lebih banyak pemenuhan diri.
Seorang YouTuber perempuan asal Indonesia adalah salah satu yang mengulangi argumen childfree untuk pemenuhan diri. Dia bahkan mengklaim bahwa childfree membuat wajah jadi lebih awet muda. Klaim ini segera ditepis dengan fakta bahwa banyak ibu juga awet muda meski telah punya anak.
Source | : | The Washington Post |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR