Nationalgeographic.co.id—Bukan ancaman bagi manusia saja, ternyata malaria bisa menyerang dunia hewan, yakni kera. Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa infeksi malaria terjadi pada bonobo liar, dan merugikan mereka. Sementara, IUCN menetapkan bonobo sebagai hewan yang terancam, sehingga membutuhkan konservasi.
Selama ini malaria dikenal sebagai penyakit mematikan yang disebabkan oleh parasit. Parasit itu tumbuh dari serangan nyamuk yang terinfeksi. Kasus penyakit ini awalnya diketahui hanya ada pada manusia. Demam, sakit kepala, dan tubuh menggigil adalah gejala ringannya. Namun, infeksinya bisa berakibat fatal dalam waktu 24 jam.
Para ilmuwan sebelumnya sudah mengetahui bahwa infeksi malaria pada beberapa jenis kera. Hal itu diketahui dengan deteks DNA parasit yang ada dalam kotoran kera. Penyebarannya ada di seluruh rentang geografis simpanse dan gorila liar di Afrika.
Ternyata, kera-kera besar di Afrika memiliki setidaknya 12 spesies Plasomodium yang berbeda. Plasmodium adalah parasit malaria. Dari 12 Plasmodium, tujuh di antaranya punya kerabat dengan parasit yang biasanya ada pada manusia. Parasit ini diketahui menyebabkan 95 persen kematian manusia.
Namun, di antara semua kera, bonobo luput. Bonobo telah lolos dari infeksi di semua penyakit kecuali dua lokasi tempat para peneliti mempelajarinya di alam liar.
Penelitian terbaru di jurnal Nature Communcations pada 23 Februari 2023 mendalami penyakit pada bonobo. Para peneliti dalam makalah bertajuk "Malaria-driven adaptation of MHC class I in wild bonobo populations" itu menjelaskan bahwa penyakit ini sedikit diketahui dan seberapa mematikannya pada bonobo.
"Kita belum menangani gejala dan risiko kematian dengan baik," kata Emily Wroblewski, asisten profesor antropologi dari Arts & Sciences di Washington University in St. Louis, dikutip dari Phys.org. Wroblewski adalah penulis pertama makalah itu.
"Jumlah hewan yang terinfeksi di penangkaran yang menunjukkan gejala penyakit telah dibatasi. Terkadang mereka menunjukkan gejala seperti demam dan hal lain yang mungkin terkait dengan infeksi, dan terkadang tidak," lanjutnya. Itu baru di dalam penangkaran. Sementara di alam liar, sangat sulit dilacak untuk identifikasi bonobo yang terkena malaria.
Wroblewski dan tim akhirnya mendapatkan sampel kotoran bonobo yang terinfeksi. Ada 38 persen bonobo yang memiliki DNA parasit yang dapat dideteksi, dengan mereka yang tidak terinfeksi di 10 lokasi lainnya di seluruh habitatnya di Republik Demokratik Kongo.
Perbedaan ini menjadi peluang bagi para peneliti mencari tahu tentang beberapa fakta dasar, terkait bagiamana malaria berdampak pada kesehatan dan kematian kera besar.
Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa bonobo cenderung memiliki variant ertentu dari gen kekebalan. Varian bonobo sangat mirip dengan yang ada di manusia: HLA-B*53. Perlindungannya dari perkembangan penyakit lebih parah dan lebih mematikan.
Wroblewski dan tim berpendapat, ini menunjukkan bahwa perawatan untuk kekebalan terhadap penyakit malaria bisa serupa diterapkan dengan manusia dan bonobo.
"Bagi kami, ini berarti ada keuntungan selektif bagi individu yang memiliki varian pelindung ini, karena individu tersebut lebih mungkin bertahan dari infeksi dan bereproduksi, menyebabkan varian tersebut meningkat frekuensinya," terang Wroblewski.
Baca Juga: Dunia Hewan: Perilaku Baru Berburu dan Makan Ikan pada Kera Jepang
Baca Juga: Mengapa Manusia Bisa Tak Punya Ekor? Begini Penjelasan Sains
Baca Juga: Fosil Owa Berusia 7,5 Juta Tahun dan Kesenjangan Sejarah Evolusi Kera
Baca Juga: Sama-sama Kerajaan Hewan, Apa yang Membuat Spesies Manusia Unik?
"Melihat populasi yang terinfeksi berbeda dari populasi yang tidak terinfeksi dalam sifat kekebalan ini menunjukkan bahwa itu karena bonobo mengalami peningkatan kematian atau biaya keberhasilan reproduksi mereka karena infeksi mereka," lanjutnya.
"Perbedaan antara populasi bonobo memberikan bukti pertama dalam bentuk apa pun, meskipun tidak langsung, bahwa kera besar liar menderita akibat apa pun dari infeksi mereka."
Beatrice Hahn, rekan penulis dari University of Pennsylvania, AS telah mendokumentasikan pola infeksi malaria pada kera besar. Penelitiannya yang sebelumnya, menegaskan bahwa parasit malaria manusia yang paling mematikan, melompat dari gorila.
“Memahami riwayat alami dan pola penularan malaria pada kerabat terdekat kita sangat penting untuk mengukur penularan di masa depan,” kata Hahn.
Wroblewski menambahkan, penelitian terkait pola imunogenetik pada bonobo yang terinfeksi malaria sangat mirip dengan apa yang diamati pada populasi manusia.
“Hal ini penting karena gen kekebalan ini berkembang sangat cepat saat mencoba mengikuti patogen yang berkembang pesat,” tambahnya. "Karena itu, sangat tidak biasa untuk mengamati pola yang dimiliki bersama antara manusia dan kerabat terdekatnya."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR