Nationalgeographic.co.id—Belakangan berita soal turis yang berkelakuan buruk kerap bermunculan di media sosial. Misalnya turis asing di Bali yang mengabaikan peraturan lalu-lintas. Bahkan yang terakhir, muncul berita soal turis asing yang menyampaikan protes suara kokok ayam di pagi hari di Bali. Kelakuan nyeleneh para wisatawan mancanegara itu tak jarang membuat kesal warga lokal.
Namun hal ini tidak terjadi di Bali atau di Indonesia saja. Di banyak tempat, wisatawan kerap membuat ulah. Ada yang berenang di kanal Venesia atau turis Amerika yang menuruni Spanish Steps di Roma dengan skuter. Semua itu membuat kita bertanya-tanya apa penyebab turis berkelakuan buruk saat berwisata?
Turis berkelakuan buruk, bukan hal baru
Harus diakui, wisatawan merupakan sumber pendapatan bagi suatu daerah tujuan wisata. Tapi apakah memang perilaku turis itu memburuk seiring dengan berjalannya waktu?
Profesor Phaedra C. Pezzullo, penulis buku Toxic Tourism membuktikan bahwa ini bukanlah isu baru. “Selama manusia melakukan perjalanan, budaya telah berbenturan dan lingkungan terkena dampaknya,” kata Pezzullo.
Di era digital, semua hal bisa menjadi viral dengan mudah. Ini sebenarnya pengingat penting bagi aparat keamanan dan industri pariwisata untuk terus mendidik wisatawan untuk menghormati budaya dan ritual lokal.
Menurut Michael O'Regan, dosen senior di Bournemouth University, tren menyebarkan berita turis nyeleneh di media sosial hanya memperburuk hubungan antara turis dan penduduk setempat.
Protes terhadap perilaku turis pun muncul di berbagai tempat, seperti di Indonesia, Barcelona, Venesia, atau Hong Kong.
Jauh dari rumah membuat pelancong berperilaku lain dari biasanya
Menurut pakar pariwisata Dr. Peter E. Tarlow, beberapa pelancong cenderung berperilaku di luar karakter saat berada di tujuan baru. Ini disebabkan karena kegembiraan dan anonimitas berada di suatu tempat yang tampaknya tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari mereka.
“Berada jauh dari rumah, para pelancong cenderung menurunkan hambatan, standar, dan perilaku mereka,” ungkap Tarlow di bukunya yang berjudul Tourism-Oriented Policing and Protective Services.
Karena menikmati perasaan anonimitas, turis terlibat dalam aktivitas kasar, semi-legal, atau bahkan ilegal. Di mana semua itu tidak akan mereka lakukan di rumah.
Linda Blair, anggota British Psychological Society, mengatakan tren ini menjadi lebih buruk setelah pandemi COVID-19. Keterampilan sosial terpengaruh. Orang terbiasa dengan hubungan atau komunikasi jarak jauh. Banyak orang yang berlibur berpikir mereka pantas berperilaku bak anak kecil. Mereka mencoba-coba melakukan hal yang salah dan menunggu reaksi yang akan diterima.
“Ada kesenangan dalam melanggar aturan. Tapi mengorbankan orang lain, ini adalah hal yang egois,” kata Blair di laman The Times.
Kadang-kadang turis tanpa disadari melanggar norma budaya setempat, terutama di negara-negara yang aturannya lebih ketat daripada negara asalnya. Hal yang normal dilakukan di luar negeri, misalnya berciuman di tempat umum, akan tampak aneh jika dilakukan di negara lain.
Terkadang perilaku buruk adalah masalah persepsi dan bermuara pada perbedaan budaya. Kemudian timbul pertanyaan mengapa wisatawan tidak berusaha lebih keras untuk memahami dan mengikuti adat istiadat setempat. Salah satu alasannya mungkin karena turis merasa lepas dari “kekangan” ketika mengunjungi tempat baru. Sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan bodoh saat berwisata.
Pariwisata berkelanjutan bertumpu pada sejumlah pilar. Salah satunya adalah kebutuhan wisatawan untuk menghormati masyarakat lokal, budaya dan lingkungan.
“Masalahnya sekarang adalah bahwa pariwisata dipromosikan sebagai kegiatan hedonisme murni,” tulis Freya Higgins-Desbiolles di laman The Conversation. Saat ini, turis tidak didorong untuk melihat dirinya sebagai warga dunia dengan hak dan tanggung jawab. Sebaliknya, mereka diberi ilusi kesenangan tak terbatas. Turis diposisikan sebagai konsumen dengan keistimewaan khusus.
Penerapan aturan atau kode etik di tempat-tempat wisata
Destinasi lain yang memperkenalkan kode etik atau serangkaian aturan yang harus diikuti oleh wisatawan. Misalnya Kroasia yang menerapkan beberapa aturan seperti mengenakan pakaian yang pantas di area bersejarah Atau larangan minum dan berkumpul di tempat umum di mana konsumsi alkohol dilarang.
Baca Juga: Rute Menuju Dusun Butuh, Nepal van Java yang Dibanggakan Sandiaga Uno
Baca Juga: Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos, Mengungkap Sisi Lain Histori Kota
Baca Juga: AVONTUR DARING: Merarik, Tradisi Melarikan Anak Gadis Usai Acara Pinangan
Baca Juga: Kelas Pejalan: Kiat Sukses Memotret Satwa di Alam Bebas
Selain itu, Kroasia juga menawarkan panduan umum tentang cara terbaik untuk menghindari pelanggaran.
“Secara umum, kode etik adalah sarana untuk menginformasikan kepada pengunjung kami mengenai ekspektasi destinasi dalam hal perilaku yang dapat diterima,” kata Ina Rodin, dari Kantor Pariwisata Nasional Kroasia.
Menurut Rodin, kode etik biasanya diterima dengan baik dan hanya ada sedikit penolakan sehubungan dengan kepatuhan.
O'Regan setuju bahwa berkomunikasi dengan turis dan mendidik mereka tentang budaya lokal adalah tindakan terbaik.
“Kita tidak dapat mengharapkan setiap turis menyadari setiap praktik budaya di tempat yang mereka tuju,” kata O’Regan.
Selandia Baru meluncurkan program “Janji Tiaki”. Saat mengampanyekan Tiaki, mereka meminta wisatawan untuk menjaga Selandia Baru. Wisatawan diharapkan bertindak sebagai penjaga, melindungi dan melestarikan tempat tinggal masyarakat. Sebagai gantinya, masyarakat menjanjikan sambutan hangat bagi mereka yang peduli.
Prinsip timbal balik seperti itu merupakan salah satu cara untuk menciptakan pariwisata yang bertanggung jawab. Tantangannya adalah mengembangkan strategi yang efektif untuk membawa wisatawan dan penduduk lokal ke dalam keselarasan yang lebih baik.
Apakah hal ini juga bisa diterapkan di beberapa tempat wisata di Indonesia?
Source | : | CNN,the conversation,The Times |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR