Sembari menunggu Bu Is menyiapkan kopi, Pak Is mengajak kami menengok rumah untuk menyimpan dan memilah biji-biji kopi. Melalui dukungan berbagai pihak pengolahan kopi menoreh ini telah dimulai sejak tahun 2016.
“Di sini jenis robusta lebih mudah ditemui, kalau arabika jarang karena lokasinya kurang tinggi, tapi ya tetep ada,” ia menjelaskan sembari terus memilah biji-biji kopi.
Oh ya, kopi juga menjadi inspirasi ibu-ibu di Majaksingi menjadi motif batik, terutama biji dan bunga kopinya yang seringkali dipadu dengan motif stupa Borobudur, sayang kami tak sempat mampir untuk menengok batik-batik tersebut.
Senja menjemput saat pisang goreng panas dan kopi pesanan kami siap. Meja menghadap ke puncak Bukit Gondopurowangi, bukit yang menyimpan jejak kisah Diponegoro.
Kami menikmati kopi dengan latar belakang sunset di Bukit Gondopurowangi. “Kalo cuaca sedang bagus, Gunung Merapi dan Merbabu bisa kelihatan juga dari sini, tapi kalau mau lihat candi Borobudur harus dari Bukit Gajah Mungkur di belakang itu,” terang Bu Is.
Warung kopi yang sering disebut Omah Kopi Borobudur ini dirintis oleh Ismoyo pada tahun 2018, beliau juga menjabat dukuh Kerug Batur Desa Majaksingi kecamatan Borobudur. Warung ini juga aktif promosi di dunia maya melalui akun instagramnya: @borobudur.coffee.
Hari telah gelap, perjalanan kembali ke Borobudur lantai satu menjadi tantangan juga kami memilih turun lewat jalur selatan melalui jalur Kenalan-Bigaran, terdapat satu jalur dengan dua kelokan patah yang curam.
Saat akhirnya kami tiba di penginapan, kami merasa perlu mengulangi perjalanan ke Kopi Pak Is ini lagi, selain merasa jatuh cinta dengan lokasinya kami ingin untuk dapat memotret jalur menuju lokasi yang meski mendebarkan tapi mengasyikkan. Tidak seperti perjalanan pertama yang penuh dengan doa, pada perjalanan kedua kami dapat lebih rileks, Oblo lebih sering keluar masuk mobil untuk memotret situasi perjalanan.
Borobudur dengan candi-candinya dan Pegunungan Menoreh dikenang sebagai negeri yang terusun atas batu-batu. Namun pada satu lembah yang hijau dan asri, terdapat satu desa yang hidup dengan membakar tanah.
Ya, desa yang populer sebagai sentra pembuatan gerabah. Jika kita sempat mampir di Candi Borobudur, silakan mengamati dua panel relief Jataka bagian sisi utara pada pagar langkan lorong satu.
Panel 107a menampilkan pembuatan gerabah dengan teknik tatap-pelandas, sementara itu pada panel 107b digambarkan proses pembakaran gerabah. Mungkin kita boleh berkata, pengetahuan pembuatan gerabah yang telah hadir pada beberapa abad lalu, tetap lestari hingga saat ini di Klipoh, desa Karanganyar Borobudur.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR