Nationalgeographic.co.id—Negara-negara di dunia telah menetapkan target baru untuk perlindungan keanekaragaman hayati global.
Target baru itu sudah disepakati dalam Konferensi Para Pihak ke-15 (Conference of the Parties) dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity), atau yang dikenal dengan COP-15 CBD, di Montreal, Kanada, pada Desember 2022.
Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan kerangka kerja global untuk mengurangi laju hilangnya keanekaragaman hayati. Kerangka kerja ini disebut sebagai Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM GBF).
Kerangka kerja inilah yang berisikan target-target ambisius yang akan menjadi salah satu acuan untuk merumuskan rencana dan kebijakan keanekaragaman hayati di tingkat nasional masing-masing negara, termasuk Indonesia.
Dalam kerangka kerja KM GBF itu, terdapat 4 (empat) elemen kunci atau tujuan (goal) yang dijabarkan ke dalam 23 target, yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.
Target-target tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) isu besar, yaitu: 8 (delapan) target untuk pengurangan resiko ancaman terhadap keanekaragaman hayati; 5 (lima) target untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan berkelanjutan dan pembagian manfaat; dan 10 (sepuluh) target untuk mendukung implementasi dan pengarusutamaannya.
Salah satu targetnya yang ambisius adalah konservasi dan pengelolaan yang efektif dari setidaknya 30 persen wilayah daratan, perairan pedalaman, pesisir, dan lautan dunia.
Sebagai perbandingan, saat ini baru 17 persen wilayah darat dan 10 persen wilayah laut dunia yang telah dilindungi.
Target baru ambisius konservasi 30 persen wilayah global ini, dicanangkan dengan penekanan pada wilayah yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati serta fungsi dan layanan ekosistem. Ini semua demi pengurangan laju kehilangan keanekaragaman hayati global.
Yang menjadi tantangan, penetapan target konservasi atas 30 persen area darat dan laut dunia pada tahun 2030 ("30 by 30") ini akan sangat bergantung pada kontribusi nyata dari negara-negara megabiodiversitas (punya keanekaragaman hayati besar) yang kebanyakan adalah negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menindaklanjuti dan mengimplementasikan KM GBF di tingkat nasional hingga lokal, saat ini pemerintah Indonesia sedang merancang dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP).
Dokumen IBSAP terakhir Indonesia adalah untuk periode 2015-2020 yang masa belakunya telah habis tiga tahun lalu.
Jadi, Indonesia sejatinya memang juga membutuhkan strategi dan rencana aksi baru untuk melindungi dan memanfaatkan keanekaragam hayati di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini.
Tantangannya, seperti negara-negara berkembang lainnya, Indonesia memiliki dana terbatas untuk pelaksanaan konservasi di wilayahnya yang luas. Adapun dana yang disediakan global untuk di Indonesia sangatlah sedikit.
"Ternyata dari global, duitnya nggak banyak dibanding kebutuhan kita," kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, dalam acara FGD I Perumusan IBSAP Pasca COP 15 CBD: Pengurangan Ancaman Kehilangan Keanekaragaman Hayati yang berlangsung di Jakarta, Rabu, 12 April 2023.
Selama ini, Indonesia menerima bantuan kerja sama dalam pelaksanaan konservasi melalui Global Environment Facility (GEF).
Namun, besaran kontribusi GEF dalam pembiayaan nasional upaya konservasi masih sangat minim, yakni hanya 0,7 persen dari total kebutuhan pendanaan nasional untuk konservasi.
Hal itu juga sempat dikeluhkan oleh Wakil Menteri KLHK Alue Dohong yang bertindak sebagai delegasi Indonesia di acara COP-15 CBD.
Dalam konferensi itu, Wamen Alue Dohong menyatakan dukungannya atas posisi 70 negara-negara berkembang lain yang tergabung dalam Like-Minded Countries (LMCs)—kelompok negara-negara berkembang—untuk meminta COP-15 membentuk Global Biodiversity Fund untuk mengurangi gap pembiayaan untuk implementasi KM GBF.
Dalam hal ini, Alue menekankan pentingnya bagi seluruh pihak CBD untuk memberlakukan prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) dan penerapan kewajiban yang berkeadilan (equity) sebagai prinsip utama yang melandasi pembentukan KM GBF tersebut.
Intinya, Alue meminta negara-negara maju melaksanakan tanggung jawab pendanaan bagi negara-negara berkembang sebagaimana telah dimandatkan Pasal 20 CBD.
Alue menyerukan, “Indonesia meminta komitmen lebih kuat dari negara-negara maju untuk meningkatkan kontribusi ke GEF secara signifikan selagi negara-negara berkembang mencari alternative funding melalui Global Biodiversity Fund.”
Kondisi lingkungan di Indonesia hingga tahun 2020, lebih dari 54 persen kawasan hutan sudah merupakan kawasan lindung. Adapun untuk kawasan laut, sekitar 8,7 persen kawasan penting laut sudah dilindungi secara hukum.
Berdasarkan pernyataan dari laman KLHK, pemerintah Indonesia berencana untuk menambah luasan kawasan lindung laut mencapai 32,5 juta hektare pada tahun 2030 dan secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 30 persen pada tahun 2045.
Mengenai rencana konservasi nasional Indonesia ini, yang terkesan seperti "30 by 45", bukan "30 by 30" seperti yang ditetapkan dalam KM GBF, Medrilzam mengatakan pihaknya akan berusaha merancang IBSAP agar tetap sesuai dengan kesepakan global yang termaktub dalam KM GBF.
Meski demikian, dia menjelaskan bahwa memang target-target konservasi di Indonesia dalam IBSAP nanti mungkin bukan menuju angka "30 by 30" seperti dalam KM GBF.
"Target-target yang ditetapkan (dalam KM GBF) itu adalah target global. Itu bukan target by country. Kalimat global itu yang disisipkan terakhir (dalam COP-15 CBD). Kita sampai berantem habis-habisan, karena kita nggak mau terikat," ungkap Medrilzam.
"Karena kan takutnya '30 by 30 by country'. Kalau tidak ditulis global target, ya kita kena nanti, 30 persen perairan kita harus dilindungi semua. Waduh. Di laut kan susah. Patroli aja berapa sekali jalan. Itu contoh ya," bebernya.
"IBSAP itu tetap align dengan target global, tapi kita nanti punya target spesifik untuk Indonesianya sendiri, nggak harus sama dengan yang target 30 persen. Intinya, kita sesuai kemampuan. Karena resources-nya juga nggak berlimpah. Kalau nggak ada resources-nya, ya mau gimana?" tanyanya retoris.
Baca Juga: Studi: Keanekaragaman Terumbu Karang Berubah seiring Kedalaman Laut
Baca Juga: Penemuan Keanekaragaman Kepiting yang Tersembunyi di Terumbu Karang
Baca Juga: Melestarikan Satwa Liar Dapat Membantu Mengurangi Perubahan Iklim
Apalagi, negara-negara maju juga terlihat sulit memenuhi komitmen mereka untuk membantu negara-negara berkembang dalam pengelolaan keanekaragaman hayati (kehati) ini.
"Bisa dibilang (mereka) ambil porsinya climate change untuk membiayai biodiversity. jadi tidak ada new commitment. Hanya mengalihkan dana saja. Tidak ada new additional resources masuk ke kita."
Medrilzam menyatakan pihaknya tetap akan memanggil semua mitra untuk membahas strategi mobilisasi sumber daya (resource mobilization/resmob) untuk kegiatan pengelolaan kehati di Indonesia.
Intinya, semua pihak pihak akan diminta terlibat dalam penyusunan IBSAP ini karena ia berharap IBSAP yang baru ini bisa bersifat terbuka dan dinamis.
Selain itu, yang terpenting, ia juga berharap IBSAP yang baru ini memiliki kekuatan hukum yang jelas.
"Rencananya memang kita mau mendorong ini jadi Perpres (Peraturan Presiden). Kan tadi sudah ada Inpres (Intruksi Presiden) ya untuk bagaimana kita berkoordinasi untuk menghasilkan (strategi dan rencana aksi) kehati ini. Nah selama ini kan IBSAP nggak pernah ada payung hukumnya," keluh Medrilzam.
Dia membandingkan isu kehati ini yang kalah jauh dengan isu perubahan iklim. "Climate Change kan kita dulu punya RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca), sekarang punya NEK (Nilai Ekonomi Karbon), wah macam-macam lah. Lah biodiversity nggak ada. Itu yang membuat kita kesulitan selama ini."
Dengan adanya Perpres, Medrilzam berharap IBSAP ini akan jadi lebih mengikat. Dengan bergitu, kepentingan pengelolaan kehati ini akan lebih mudah untuk dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berlaku tiap lima tahun.
"Kan ujung-ujungnya nanti harus masuk dokumen perencanaan tiap lembaga dan kementerian," ujarnya.
Pada akhirnya, strategi dan rencana aksi dalam IBSAP baru bisa benar-benar dijalankan pemerintah bila kepentingan kehati ini telah dimasukkan ke dalam rencana kerja pemerintah, yang diwiujudkan dalam penganggaran program kerja terkait ini di setiap kementerian dan lembaga hingga tingkat lokal.
Terkit dengan upaya untuk membuat payung hukum bagi IBSAP baru ini, minimal berupa Perpres, Medrilzam mengaku sudah berkomunikasi dengan pihak Kantor Staf Presiden (KSP) yang menurutnya bakal mendukung ini.
Medrilzam juga berharap bahwa IBSAP yang baru nanti akan memiliki tata kelola dan penguatan kapasitas kelembagaan.
Rincinya, dokumen ini diharapkan bisa memberikan kejelasan kebijakan strategis yang harus dilakukan dalam pengelolaan kehati dan memiliki indikator utama sebagai target pencapaian para pihak dan alat ukur kinerja bersama.
Medrilzam juga berharap bahwa semua lapisan masyarakat dalam berkontribusi dalam pengelolaan kehati di Indonesia.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muh. Firdaus Agung Kunto Kurniawan, yang menjadi salah satu panelis dalam FGD I Perumusan IBSAP Pasca COP 15 CBD ini, mengatakan peran masyarakat sangatlah strategis dalan pengelolaan kehati.
"Kita semua adalah masyarakat yang memberi dampak pada biodiversitasnya, yang menerima manfaat dari biodiversitas, dan juga mungkin merusak biodiversitas," kata Firdaus Agung.
Panelis lainnya, Kepala Subdirektorat Pengawetan Spesies dan Genetik KLHK Badi'ah, menegaskan bahwa pengelolaan kehati ini tidak hanya berupa perlindungan, tetapi juga pemanfaatan secara ramah lingkungan.
"Yang namanya konservasi itu tidak hanya perlindungan, tetapi juga pemanfaatan berkelanjutan. Bahwa tidak mungkin pemanfaatan itu bisa dimanfaatkan berkelanjutan kalau si pemanfaat itu tidak memperhitungkan aspek keberlanjutannya," ujar Badi'ah.
Managing Editor National Geographic Indonesia, Mahandis Yoanata Thamrin, yang menjadi moderator dalam FGD ini, menekankan pentingnya keanekaragaman hayati bagi kehidupan manusia di bumi.
Dalam sesi penutup FGD itu, Yoanata mengutip hasil studi yang dipimpin oleh Oswald Schmitz dari Yale School of the Environment. Makalah studi itu baru saja terbit di jurnal Nature Climate Change pada 27 Maret 2023.
Yoanata mengutip hasil studi tersebut yang menawarkan solusi bijak, "Keanekaragaman hayati memperkuat ekosistem, meningkatkan ketahanannya terhadap peristiwa iklim ekstrem, dan meningkatkan kapasitasnya untuk membendung perubahan iklim."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR