Nationalgeographic.co.id—Setiap daerah memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda. Apa yang dianggap normal di satu tempat, mungkin terlihat aneh bila dilakukan di tempat lain. Misalnya menjulurkan lidah digunakan untuk menyapa di Tibet. Ternyata, ada legenda di balik tradisi unik yang masih dilakukan hingga kini.
Mengapa orang Tibet menjulurkan lidah saat memberi salam?
Dalam budaya Tibet, menjulurkan lidah memiliki arti yang berbeda dengan di tempat lain, misalnya Di Indonesia. Secara umum, menjulurkan lidah itu dianggap sebagai ekspresi mengejek. Namun artinya jadi berbeda jika Anda melakukannya saat berkunjung ke Tibet atau bertemu dengan orang Tibet.
“Sering digunakan sebagai sapaan dalam budaya tradisional Tibet, menjulurkan lidah dipahami sebagai tanda persetujuan atau rasa hormat,” tulis Kelsie Dickinson di laman HITC.
Tradisi ini mungkin dikenal di luar Tibet berkat film Seven Years in Tibet yang dibintangi oleh Bratt Pitt yang berperan sebagai Heinrich Harrer. Dalam film itu, ada adegan di mana Harrer bertemu dengan sekelompok anak yang menjulurkan lidah padanya.
“Namun film tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang makna tindakan anak kecil itu,” tambah Shweta Sharma di laman Independent.
Legenda di balik tradisi menjulurkan lidah di Tibet
Menurut cerita rakyat Tibet, para pengikut Buddha mulai menjulurkan lidah untuk memisahkan diri dari Raja Tibet di abad ke-9. Raja Lang Darma terkenal karena kekejamannya dan dipercaya memiliki lidah hitam.
Tradisi menjulurkan lidah muncul karena mereka percaya akan reinkarnasi setelah kematian. Bagaimana bisa? Menjulurkan lidah adalah cara bagi orang Tibet untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah reinkarnasi dari Raja Lang Darma. Atau bahkan bukan raja yang kejam itu. Caranya dengan memamerkan bahwa lidah mereka tidak berwarna hitam, seperti sang raja yang jahat itu.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini menjadi salam umum yang digunakan saat orang Tibet bertemu orang lain.
Cara lain yang dilakukan orang Tibet untuk menyapa atau menunjukkan rasa hormat
Tashi delek adalah kata sapaan umum di Tibet. Tashi berarti keberuntungan dan delek berarti baik. “Sapaan ini berisi harapan terbaik seperti kesehatan dan keberuntungan yang baik,” tulis Catherine di laman Great Tibet Tour.
Kata sapaan sederhana ini memperpendek jarak antara dua orang dan menghilangkan rasa asing. Dengan kata lain, tashi delek juga bertujuan untuk mengakrabkan. Di Tibet, jika seseorang mengucapkan tashi delek, Anda harus menjawab tashi delek shu.
Praktik lain yang menarik dalam budaya Tibet adalah mempersembahkan khatag kepada tamu atau kerabat mereka. Khatag adalah selendang tenun putih yang biasa dikalungkan di leher tamu, anggota keluarga, manula, dan bahkan dewa. Ini merupakan tradisi populer di Tibet. Tradisi ini dianggap sebagai praktik keramahtamahan dan rasa hormat.
Mempersembahkan khatag pada seseorang menunjukkan kesucian, ketulusan, kesetiaan, dan rasa hormat kepada pihak lain.
“Namun maknanya berbeda dalam situasi yang berbeda,” tambah Catherine. Selama festival, orang-orang saling mempersembahkan khatag untuk mengucapkan selamat liburan dan hidup yang bahagia. Selama upacara pernikahan, orang-orang membawa khatag untuk mendoakan pasangan baru agar dipenuhi kasih sayang dan langgeng. Saat memberi salam, orang-orang mempersembahkan khatag untuk berdoa memohon berkah Bodhisattva. Selama pemakaman, orang mempersembahkan khatag untuk mengungkapkan belasungkawa atas kematian seseorang.
Tradisi unik lainnya: minum teh dan alkohol
Teh mentega dan teh susu manis adalah teh tradisional Tibet yang paling terkenal. Saat minum teh mentega dengan penduduk asli, hindari untuk mengambil cangkir sendiri. Setelah tuan rumah menawarkan secangkir teh, terima dengan kedua tangan dan sujud atau menunduk untuk menunjukkan rasa hormat.
Para tamu juga harus mengetahui bagaimana mereka menerima atau menawarkan barang apa pun. “Saat membagikan sesuatu, Anda harus menawarkan barang tersebut dengan kedua tangan sambil membungkuk,” ujar Catherine lagi.
Ketika seorang tuan rumah Tibet menawari secangkir anggur atau alkohol, pertama-tama Anda harus mencelupkan jari manis ke dalamnya. Lalu mengibaskan anggur ke arah langit dan tanah. Ini adalah semacam ekspresi penghormatan kepada surga, bumi, dan leluhur.
Baca Juga: Tibet di Tiongkok hingga Aceh di Indonesia Mau Merdeka Bukan demi Uang
Baca Juga: Studi pada Biksu Tibet Ungkap Keuntungan dari Tradisi Hidup Selibat
Baca Juga: Ritual Suci, Peziarah Buddha Bersujud Ribuan Kilometer Menuju Lhasa
Baca Juga: Virus Kuno 15.000 Tahun Diidentifikasi di Gletser Tibet yang Mencair
Kemudian minumlah dengan pelan dan tuan rumah akan mengisinya lagi. Setelah tuan rumah mengisi gelas, Anda harus menyesap lagi. Dilakukan sampai empat kali, ini adalah aturan konvensional. Jika tidak diikuti, tamu dianggap tidak sopan dan memandang rendah tuan rumah.
Etika saat berkunjung ke Tibet
Saat mengunjungi negara atau daerah lain, kita wajib menghormati semua adat istiadat dan budaya mereka.
Tibet terkenal dengan penyebaran agama Buddha dan wilayah yang sangat religius. Wisatawan mungkin akan sering berkunjung ke kuil atau situs keagamaan, selain wisata alam dan budaya. Ada sejumlah aturan yang harus diikuti saat memasuki kuil atau situs keagamaan di Tibet.
Jika mengunjungi kuil, pastikan untuk melepas topi saat memasuki kuil. Melepas sepatu tidak diharapkan dari orang asing, tetapi melakukannya akan menjadi sikap yang baik.
Bahkan cara Anda melihat sekeliling kuil pun penting. Pasalnya, orang diharuskan berjalan searah jarum jam.
Setiap tempat memiliki tradisi dan budaya unik yang harus dihormati. Seperti menjulurkan lidah sebagai lambang pemberian salam di Tibet. Mungkin bagi kita, tradisi itu tampak aneh. Tapi bagi orang Tibet, kebiasaan itu memiliki makna mendalam.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Independent,HITC |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR