Nationalgeographic.co.id—Sri Lanka kaya akan sejarah dan peninggalan masa lalu yang menarik untuk dikunjungi. Salah satu yang terkenal adalah istana dan benteng kuno di atas batu raksasa di Sigiriya. Menjulang dengan anggun setinggi 200 meter, reruntuhan istana kuno menyembunyikan masa lalu monarki yang penuh gejolak. Salah satunya adalah kisah Raja Kashyapa yang membangun istana dan benteng di atas batu raksasa.
Putra sulung yang tidak ditakdirkan untuk menjadi raja
Kashyapa adalah putra sulung Raja Dhatusena, raja pertama dinasti kerajaan Maurya. Meski putra sulung, ia dilahirkan dari rahim seorang selir yang tidak memiliki darah bangsawan. Oleh karena itu, Kashyapa tidak termasuk dalam daftar pewaris takhta. Adik laki-lakinya Moggallana, yang lahir dari permaisuri kerajaan Dhatusena, yang disiapkan untuk menjadi pengganti raja kelak.
Kashyapa memang bukan putra mahkota, tapi ia diterima sebagai anak raja dan dihormati di istana.
Menggulingkan takhta
Seperti yang disebutkan, Kashyapa diperlakukan dengan baik sebagai pangeran. Namun ia merasa tidak puas dan kebencian perlahan muncul. Rasa benci itu pun dimanfaatkan oleh pihak lain.
Kebencian yang dirasakan Kashyapa terhadap keluarga dipupuk oleh panglima pasukan Raja Dhatusena, Migara. Ditambah lagi, Kashyapa frustasi dengan keadaannya yang tidak bisa menjadi raja.
Namun mengapa Migara justru memanfaatkan kebencian yang dimiliki oleh Kashyapa terhadap keluarga kerajaan? Raja Dhatusena bertanggung jawab atas pembunuhan mengerikan terhadap ibu Migara.
Bersama-sama mereka menyusun rencana dan berhasil mengubah penghuni istana melawan raja tua. Mereka memenjarakan Datusena di dalam istananya sendiri. Pangeran Moggallana menyadari bahwa dia akan menjadi yang berikutnya untuk disingkirkan. Ia pun melarikan diri ke India untuk mengumpulkan pasukan untuk memperjuangkan hak kesulungannya.
Kashyapa naik takhta tanpa terbantahkan dan memulai pemerintahannya sebagai raja.
Namun Migara masih belum puas. Ia membuat Kashyapa percaya bahwa Dhatusena mengumpulkan harta yang sangat besar untuk dianugerahkan kepada Moggallana saat penobatannya. Harta tersebut disembunyikan hingga waktunya Moggallana naik takhta.
Keserakahan Kashyapa akan harta dan kekuasaan semakin dipicu oleh kisah ini. Ia kemudian mengirim banyak utusan kepada ayahnya yang dipenjara untuk meminta harta itu diserahkan kepadanya.
Dhatusena membantah semua klaim tentang harta karun, tetapi gagal meyakinkan putranya tentang fakta tersebut. Migara terus menekan Kashyapa untuk mengambil tindakan yang lebih drastis terhadap mantan raja. Padahal saat itu Dhatusena sudah sangat menderita.
Dalam upaya terakhir untuk melarikan diri dari penjaranya, Dhatusena mengirim pesan kepada Kashyapa bahwa dia siap untuk menunjukkan harta karun itu. Ia akan melakukannya jika dibawa ke Kala Wewa, mahakarya irigasi Dhatusena yang hebat.
Kashyapa menjadi penuh harapan. Ia memerintahkan anak buahnya untuk membawa ayahnya ke Kala Wewa dan mengambil harta yang sulit ditemukan. Sesampainya di waduk, dia kemudian menunjuk ke waduk dan berkata, “Di sini letak seluruh harta kerajaan.” Konon Dhanuseta menekankan nilai waduk itu untuk masyarakat berbasis pertanian.
Berita tak terduga itu disampaikan kepada Raja Kashyapa yang semakin marah. Ia masih percaya bahwa ayahnya menyimpan harta itu untuk kembalinya Moggallana. Ini mengancam posisi Kashyapa yang sudah lemah sebagai raja. Jika raja tua memiliki harapan untuk kembalinya Moggallana, itu berarti para pendukung Dhatuseta pun memiliki harapan yang sama.
Karena marah, Kashyapa memerintahkan ayahnya sendiri untuk dipenjara lagi. Dhatusena meninggal dalam kesedihan akibat diabaikan oleh putranya dan dibenci oleh Migana.
Mundur ke benteng di atas batu raksasa
Setelah mengeklaim takhta untuk dirinya sendiri, Kashyapa mencoba berdamai dengan rakyatnya. Namun, raja baru itu tidak diterima oleh rakyanya. Meski Dhatusena tidak dibunuh secara langsung oleh Kashyapa, ia meninggal akibat semua tindakan sang putra.
Dia telah melakukan dosa besar di mata para pengikut Buddha. Bosan dengan penolakan terus-menerus dan takut akan pembalasan dari Moggallana, Kashyapa melarikan diri. “Ia memindahkan ibu kota kerajaan dari kedudukannya di Anuradhapura ke sebuah batu raksasa di Sigiriya,” tulis Joanna Gillan di laman Ancient Origins.
Istana dan benteng di atas awan
Kashyapa terinspirasi oleh kota mitologi Buddha Alakamanda, kota dewa yang indah yang dibangun di atas awan. Ia pun mulai membangun kota dan istana barunya di Sigiriya. Berlawanan dengan aturan ajaran Buddha untuk menghindari pemanjaan diri, Kashyapa merasa tidak perlu terikat oleh aturan-aturan ini. Di sisi lain, itu dilakukan karena ia merasa ditolak oleh rakyatnya.
Kashyapa memilih menggunakan kekayaannya untuk merancang kerajaan mewah untuk dirinya sendiri. Istana itu dilengkapi dengan taman, kolam, dan air mancur yang indah. Tembok barat Sigiriya dicat dengan lukisan wanita cantik. Tembok Cermin dibangun, memungkinkan raja baru untuk mengagumi dirinya sendiri saat dia berjalan melewatinya.
Pintu masuk ke istananya dijaga oleh singa batu besar di sisi utara batu. Tubuh singa itu telah hancur selama seribu tahun sejak berdiri, tetapi cakarnya masih menjaga pintu masuk.
Kejatuhan Kashyapa
Legenda mengatakan bahwa Kashyapa adalah orang memiliki rasa damai di hati, meskipun naik takhta dengan kekerasan. Dia menyukai seni dan puisi.
Baca Juga: Misteri Sigiriya, Benteng Kuno di Atas Batu Raksasa yang Memukau
Baca Juga: Sarandib: Kesatuan Tiga Agama dan Kerinduan Cita Rasa Lidah Jawa
Baca Juga: Makara, Monster Laut Berbelalai dalam Mitologi Hindu dari Srilangka
Baca Juga: Mengurai Masalah Lima Juta Sapi di India, Hewan Perusak nan Suci
Kematian ayahnya membebani hati nuraninya selama 14 tahun pemerintahannya. Ia tampaknya mencoba untuk bertobat dalam batas-batas keyakinannya dalam upaya untuk menemukan kedamaian.
Namun, masa lalunya akhirnya menyusulnya. Moggallana, yang melarikan diri ke India Selatan bertahun-tahun yang lalu, berhasil mengumpulkan pasukan. Pasukan tersebut membantunya kembali dan memperjuangkan takhtanya.
Kashyapa menggorok lehernya sendiri dalam pertempuran berikutnya. Itu mengakhiri pemerintahannya dan mengizinkan Moggallana merebut kembali hak kesulungannya.
“Setelah kematiannya, situs tersebut dikembalikan ke tangan damai para biksu Buddha,” Gillan menambahkan. Sigiriya pun menjadi biara selama berabad-abad setelah peristiwa berdarah itu.
Meskipun istana Kashyapa tidak lagi berdiri, warisannya tetap hidup di bentengnya. Reruntuhan istana menjadi saksi bisu pemerintahan Raja Kashyapa, si putra sulung yang tidak ditakdirkan untuk menjadi raja.
Source | : | Medium,Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR