Nationalgeographic.co.id—Untuk pertama kalinya, para astronom menyaksikan bintang mirip matahari melahap sebuah planet. Peristiwa ini tampaknya menjelaskan nasib yang bakal menimpa Bumi dalam waktu sekitar empat miliar tahun ke depan ketika Matahari kita yang sekarat membengkak untuk menelan dunia kita.
Dalam sebuah studi baru, dengan menganalisis bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya selama berbagai tahap evolusinya, para astronom telah menemukan bahwa ketika Matahari dan bintang-bintang lain berada di fase menjelang akhir hidup mereka, mereka mulai menghabiskan sumber bahan bakar utama mereka, hidrogen di dekat inti mereka.
Hal ini menyebabkan inti mereka berkontraksi dan kulit terluar mereka mengembang dan mendingin. Selama fase "raksasa merah" ini, bintang-bintang ini dapat mengepul 100 hingga 1.000 kali diameter aslinya, menelan planet-planet yang mengorbit di dekat mereka.
"Kita tahu bahwa ini pasti terjadi pada semua planet yang mengorbit pada jarak yang lebih kecil dari Bumi, tetapi dianggap sangat menantang untuk memberikan bukti eksperimental untuk ini," ujar Kishalay De, astrofisikawan di Massachusetts Institute of Technology yang menjadi penulis utama studi ini, seperti dilansir Space.com.
Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah mendeteksi bukti bintang sebelum dan tak lama setelah memakan planet. Namun, para peneliti belum pernah menangkap bintang yang sedang beraksi sampai sekarang, jelas De.
"Sejujurnya, salah satu kejutan terbesar bagi saya adalah kami menemukannya sejak awal," kata De.
"Penelanan planet telah menjadi prediksi mendasar dalam pemahaman kita tentang bintang dan planet, tetapi frekuensinya sangat tidak pasti. Jadi, menemukan peristiwa yang berpotensi langka untuk pertama kalinya selalu menarik."
Dalam studi baru ini, De dan rekan-rekannya membuat terobosan setelah memeriksa semburan radiasi yang disebut ZTF SLRN-2020, yang terjadi pada tahun 2020 di cakram Bima Sakti sekitar 12.000 tahun cahaya jauhnya, dekat konstelasi Aquila. Selama peristiwa itu berlangsung, sebuah bintang dicerahkan dengan faktor 100 selama seminggu.
"Pekerjaan dimulai pada tahun 2020 ketika saya sebenarnya tidak mencari peristiwa semacam ini," kata De.
"Saya sedang mencari jenis ledakan yang jauh lebih umum yang disebut nova." Nova adalah ledakan bintang yang dapat terjadi ketika raksasa merah menuangkan bahan bakar ke bintang kerdil putih pendampingnya.
Baca Juga: Planet Ini Ukurannya Hampir Sama dengan Bintang yang Dikitarinya
Baca Juga: Kelangsungan Hidup Bintang yang Tak Terduga saat Tercabik Lubang Hitam
Baca Juga: Deteksi Pertama Kalinya dari Bintang Pembentuk Kilonova di Bimasakti
Penemuan awal dalam studi ini dibuat dengan menganalisis data yang dikumpulkan oleh Zwicky Transient Facility, yang dijalankan di Palomar Observatory, California Institute of Technology. Zwicky Transient Facility memindai langit untuk mencari bintang yang kecerahannya berubah dengan cepat, yang dapat berupa peristiwa seperti nova.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang ZTF SLRN-2020, De menganalisis spektrum cahaya dari ledakan terang tersebut. "Saat itulah saya terkejut melihat bahwa tidak seperti nova yang memiliki gas panas di sekitarnya, sumber ini terutama dikelilingi oleh gas dingin," tuturnya.
Gas dingin dari semburan seperti itu sering kali dihasilkan dari penggabungan bintang, jelas De. Ketika dia menindaklanjuti dengan melihat data dari bintang yang sama yang dikumpulkan oleh Keck Observatory di Hawaii, dia juga menemukan molekul yang hanya bisa ada pada suhu yang sangat dingin.
Gas dingin dapat mengembun menjadi debu seiring waktu. Sekitar setahun setelah penemuan awal, De dan rekan-rekannya menganalisis data dari bintang yang sama, kali ini dikumpulkan menggunakan kamera inframerah di Palomar Observatory.
Data inframerah dapat menghasilkan sinyal material yang lebih dingin, berbeda dengan sinyal cahaya tampak terang yang sering datang dari nova dan peristiwa dahsyat lainnya.
Para ilmuwan kemudian menemukan semburan singkat cahaya tampak dari bintang disertai dengan sinyal cahaya inframerah dekat yang luar biasa terang yang perlahan memudar selama enam bulan. Ini membenarkan kecurigaan De "bahwa sumber ini memang telah membentuk banyak debu," katanya.
Bagian terakhir dari teka-teki datang ketika para peneliti memeriksa data yang dikumpulkan oleh teleskop luar angkasa inframerah NASA, NEOWISE. Data ini menunjukkan jumlah total energi yang dilepaskan bintang sejak ledakan awalnya ternyata sangat kecil, yakni sekitar seperseribu besarnya penggabungan bintang mana pun yang diamati di masa lalu.
"Artinya, apa pun yang bergabung dengan bintang itu pasti 1.000 kali lebih kecil dari bintang lain yang pernah kita lihat," kata De dalam sebuah pernyataan.
"Dan merupakan kebetulan yang menggembirakan bahwa massa Jupiter kira-kira seperseribu massa matahari. Saat itulah kami menyadari: Ini adalah sebuah planet, menabrak bintangnya."
Berdasarkan sifat ledakannya, para astronom memperkirakan peristiwa tersebut melepaskan hidrogen setara dengan sekitar 33 kali massa Bumi, serta sekitar 0,33 massa debu Bumi.
Dari sini, mereka memperkirakan bintang nenek moyang berukuran sekitar 0,8 hingga 1,5 kali massa Matahari kita dan planet yang ditelan sekitar 1 hingga 10 kali massa Jupiter.
Bumi diperkirakan akan mengalami nasib serupa ketika matahari menjadi raksasa merah dalam waktu sekitar 5 miliar tahun. Para ilmuwan telah merinci temuan mereka dalam makalah yang terbit di jurnal Nature pada 3 Mei 2023.
Source | : | Nature,Space.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR