Nationalgeographic.co.id—"Saya nyaman. Alhamdulilah, terima kasih perawat di klinik ini...," ucap haru seorang penyintas luka ulkus diabetikum.
Ia terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. "Cuma maaf saya menjijikkan," ujarnya sambil menyeka air mata.
Sepenggal kalimat tadi terucap dari seorang pasien penyintas yang berobat di Klinik Perawatan Luka Bilqiss Medika, Jawa Barat.
Ia berterima kasih kepada tenaga kesehatan yang telah merawat luka ulkus diabetik di salah satu kakinya.
Kondisi luka yang tampak buruk, bernanah, dan berbau menyebabkan dirinya merasa menjijikan sehingga ia sendiri tidak mau melihat lukanya.
Penggalan kalimat ini tersemat dalam penelitian kualitatif oleh Bratajaya dan Ernawati pada 2023, mengenai Essential Skills for Wound Care Nurses in Rural Areas: The Perception of Community-dwelling Patients with Chronic Diabetic Ulcers.
Perawat luka bersertifikat atau Certified Wound Care Nurse (CWCN) adalah seorang perawat yang sudah dilatih dan memiliki sertifikat sehingga memiliki kompetensi dalam perawatan luka. Perkembangan perawatan luka berkembang peset termasuk di Indonesia. Membutuhkan waktu lima milenium hingga perawatan luka berkembang pesat hingga saat ini.
Buku berjudul "The History of Wound Care karya Jayesh B. Shah dalam The Journal of the American College of Certified Wound Specialists" yang terbit pada 2011, mgungkapkanenuturkan, "Sejarah penyembuhan luka dalam arti tertentu adalah sejarah umat manusia." Buku itu juga men, "Upaya penyembuhan luka sudah ada sejak tahun 2200 SM."
Salah satu manuskrip medis tertua, berupa tanah liat peradaban Mesopotamia menjelaskan tiga prinsip penyembuhan luka yang masih selalu dilakukan perawat hingga detik ini yaitu: membasuh luka, membuat plester, dan membalut luka.
Orang Mesir Kuno (2000-500 SM) memiliki sejarah dalam mengaplikasikan madu, minyak, dan serat kain pada balutan luka. Plester yang digunakan sudah berperekat persis dengan pembalut luka yang kita gunakan sekarang. Orang Yunani menekankan pentingnya kebersihan.
Mereka menganjurkan untuk mencuci luka dengan air bersih, air direbus terlebih dahulu, juga digunakan cuka dan arak untuk mencegah infeksi luka. Orang Yunani juga memiliki sejarah dalam membedakan luka segar atau disebut luka akut dan luka tidak mudah sembuh atau luka kronis.
Kemudian bangsa Romawi kuno menyempurnakan proses perawatan luka dengan merumuskan empat tanda infeksi yakni rubor, tumor, calor, er dolor (kemerahan, bengkak, panas, dan nyeri).
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR