Nationalgeographic.co.id—Saigo Takamori dikenal sebagai samurai terakhir di Kekaisaran Jepang. Hidup dari tahun 1828 hingga 1877, Takamori dikenang sebagai lambang bushido, kode etik samurai. Meskipun sebagian besar sejarahnya telah hilang, sejarawan menggali lebih banyak tentang kehidupan pejuang dan diplomat termasyhur ini.
Kehidupan awal Saigo Takamori, samurai terakhir Kekaisaran Jepang
Saigo Takamori lahir pada tanggal 23 Januari 1828, di Kagoshima, ibu kota Satsuma, anak tertua dari tujuh bersaudara. “Ayahnya, Saigo Kichibei, adalah seorang pejabat pajak samurai berpangkat rendah,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.
Takamori dan saudara-saudaranya berbagi satu selimut di malam hari. Orang tua Takamori juga harus meminjam uang untuk membeli tanah pertanian agar memiliki cukup makanan untuk keluarga. Kehidupan seperti ini menanamkan soal harga diri, hemat, dan kehormatan pada diri Saigo Takamori.
Pada usia 6 tahun, Saigo Takamori mulai belajar di goju—atau sekolah dasar samurai. Di sana, ia mendapatkan wakizashi pertamanya, pedang pendek yang digunakan oleh prajurit samurai. Dia lebih unggul sebagai seorang sarjana alih-alih seorang pejuang. Saigo muda banyak membaca sebelum dia lulus dari sekolah pada usia 14 tahun. Ia pun secara resmi diperkenalkan ke Satsuma pada tahun 1841.
3 tahun kemudian, dia mulai bekerja di birokrasi lokal sebagai penasihat pertanian. Saigo menjalani perjodohan dengan Ijuin Suga yang berusia 23 tahun pada tahun 1852. Tidak lama setelah pernikahan, kedua orang tua Saigo meninggal. Mereka meninggalkan Saigo sebagai kepala keluarga beranggotakan 12 orang. Penghasilannya kecil digunakan untuk menghidupi mereka.
Politik di Edo
Tak lama kemudian, Saigo dipromosikan menjadi pelayan daimyo pada tahun 1854. Tugasnya menemani tuannya ke Edo, berjalan sejauh 1.440 km ke ibu kota shogun. Saigo menjadi mata-mata tidak resmi yang penuh rasa percaya diri diri.
Tak lama kemudian, Saigo menjadi penasihat terdekat Daimyo Shimazu Nariakira. Nariakira dan sekutunya berusaha untuk meningkatkan kekuasaan kaisar dengan mengorbankan shogun. Namun pada tanggal 15 Juli 1858, Shimazu meninggal mendadak, kemungkinan karena racun.
Seperti tradisi samurai pada saat kematian tuan mereka, Saigo mempertimbangkan untuk menemani Shimazu sampai mati. Saat itu, biksu Gessho meyakinkannya untuk hidup dan melanjutkan pekerjaan politiknya untuk menghormati kenangan akan Nariakira.
Namun, shogun mulai membersihkan politisi pro-kekaisaran, memaksa Gessho untuk meminta bantuan Saigo untuk melarikan diri ke Kagoshima. Di sana daimyo Satsuma yang baru menolak untuk melindungi pasangan tersebut dari pejabat shogun. Alih-alih menghadapi penangkapan, Gessho dan Saigo melompat dari perahu kecil ke Teluk Kagoshima. Meski berhasil ditarik keluar dari air, Gessho tidak bisa diselamatkan.
Samurai terakhir di pengasingan
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR