Nationalgeographic.co.id—Menurut sejarah, Kaisar Suiko menjadi penguasa wanita pertama Kekaisaran Jepang 1.400 tahun. Ia mengisi Takhta Krisan pada tahun 592 Masehi dan memerintah selama 35 tahun.
Selama waktu itu, sang kaisar wanita menyebarkan agama Buddha dan melembagakan konstitusi pertama Jepang. Namun kini, tradisi Kekaisaran Jepang melarang wanita untuk naik takhta. Apa sebabnya?
Ketika Kaisar Akihito yang berusia 85 tahun turun takhta, ia menyerahkan gelarnya kepada pewaris laki-laki tertuanya. Penerusnya adalah Naruhito. Di belakang putra mahkota dalam garis suksesi adalah adik laki-lakinya, Pangeran Akishino. Dan setelahnya adalah putra pangeran yang berusia 12 tahun, Pangeran Hisahito.
Sayangnya, tidak ada yang mengisi posisi setelah Pangeran Hisahito. Apakah anggota keluarga Kekaisaran Jepang hanya terdiri dari mereka saja? Dari 18 anggota keluarga kerajaan Jepang, 13 di antaranya adalah wanita. Tidak ada jalan menuju takhta untuk para wanita di Kekaisaran Jepang.
Krisis ahli waris di Kekaisaran Jepang menjadi kekhawatiran banyak orang
Bahwa garis keturunan kerajaan Jepang sangat tipis menjadi kekhawatiran bagi banyak orang di Jepang. Karena itu, keamanan Pangeran Hisahito pun diutamakan. Ia pun dijaga dengan ketat. Pasalnya, keselamatan sang pangeran merupakan kunci penting bagi kelangsungan Kekaisaran Jepang.
Sekarang ada perdebatan tentang apakah sistem perlu diubah dan soal perubahan garis suksesi di Kekaisaran Jepang.
Bagi Shinzo Abe, mantan perdana menteri, suksesi adalah masalah yang sangat penting terkait dengan dasar negara. “Maka, pemerintah maupun kekaisaran harus mempertimbangkannya dengan hati-hati,” tulis Adam Taylor di laman Washington Post.
Ini adalah masalah zaman modern yang disebabkan oleh pertemuan faktor sejarah. Termasuk keluarga kekaisaran yang kian menyusut di Kekaisaran Jepang.
Mengapa wanita tidak bisa menduduki Takhta Krisan?
Setelah Suiko, Kekaisaran Jepang memiliki tujuh penguasa wanita lagi. Mulai dari Kaisar Kogyoku pada abad ke-7 hingga Kaisar Go-Sakuramachi pada akhir abad ke-18. Sebelum Suiko, ada Kaisar Jingu 300 tahun sebelumnya. Namun sejarawan tidak memiliki bukti kuat perihal pemerintahannya. Mereka pun menganggapnya sebagai mitos.
Keinginan untuk menjadi lebih kebarat-baratan mendorong Jepang untuk secara resmi memblokir ahli waris wanita pada akhir abad ke-19.
Setelah Restorasi Meiji tahun 1868 menggulingkan sistem feodal, kelas penguasa baru Jepang mulai beralih ke Eropa dan Amerika Serikat. Itu dilakukan untuk reformasi. Pemerintah berharap untuk menjadikan Jepang sebagai kekuatan sambil memperkuat kekuatan tradisional kekaisaran.
Politisi Ito Hirobumi mempelajari berbagai sistem politik sebelum menetapkan konstitusi Prusia tahun 1850 sebagai model. Orang Jepang merekrut seorang sarjana hukum Jerman, Hermann Roesler, untuk membantu menyusun sistem serupa.
Prusia adalah model pemerintahan yang konservatif. Raja memiliki kekuasaan yang cukup besar. Ahli waris wanita menjadi upaya paling akhir jika sudah tidak ada jalan keluar.
Para ahli hukum berpendapat bahwa itu tepat karena konstitusi Jepang yang baru menjadikan kaisar sebagai kepala militer negara.
Konstitusi Meiji 1889 berikutnya meresmikan sistem pemerintahan yang didominasi laki-laki ini. Undang-undang Rumah Tangga Kekaisaran menjelaskan bahwa ahli waris laki-laki diberi prioritas di atas ahli waris wanita dalam sistem senioritas.
Perubahan kekuasaan Kekaisaran Jepang setelah Perang Dunia II
Ironisnya, sistem Prusia tidak bertahan lama. Setelah naik tahta pada tahun 1888, William II adalah Raja Prusia terakhir dan Kaisar Jerman terakhir. Ia turun takhta setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I.
Dan setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Kekaisaran Jepang menulis ulang konstitusinya dan menghapus sebagian besar kekuasaan kaisar. Ini menjadikan posisi Kaisar Jepang hampir seluruhnya bersifat seremonial. “Sistem ini lebih mirip model monarki Inggris,” tambah Taylor.
Hukum Rumah Tangga Kekaisaran yang ditulis ulang membuat perubahan signifikan pada keluarga Kekaisaran Jepang. Hukum itu khususnya membatasi ukuran keluarga kekaisaran, tetapi tetap mempertahankan aturan tentang suksesi laki-laki.
Praktik poligami untuk menambah ahli waris laki-laki, mungkinkah?
Kekaisaran Jepang bukan satu-satunya monarki yang masih menyukai bangsawan laki-laki. Banyak keluarga kerajaan Teluk Persia seperti Arab Saudi yang mempertahankan sistem serupa. Namun, banyak dari kerajaan tersebut yang memiliki keluarga kerajaan yang besar. Itu disebabkan karena praktik poligami, sebuah praktik yang tidak disukai di Jepang selama era Meiji.
Selama periode diskusi tentang sistem suksesi pada tahun 2005, sepupu kaisar memperdebatkan kembali ke sistem selir. Ini untuk memastikan ahli waris laki-laki.
“Menggunakan selir, seperti dulu, adalah salah satu pilihan,” tulis Pangeran Tomohito dalam surat pribadi. “Saya setuju, tapi ini mungkin agak sulit mengingat iklim sosial di dalam dan di luar negeri.”
Apakah akhirnya seorang kaisar wanita akan memimpin Kekaisaran Jepang di masa depan?
Memang, jajak pendapat menunjukkan bahwa banyak warga Jepang lebih suka membiarkan keluarga Kekaisaran Jepang dipimpin oleh seorang wanita. 68 persen masyarakat mendukung, menurut jajak pendapat tahun 2017 oleh surat kabar Mainichi Shimbun.
Dan meskipun mereka umumnya diam tentang isu-isu politik, tampaknya beberapa keluarga Kekaisaran Jepang juga terbuka untuk itu. Bahkan pada tahun 2002, Putri Takamatsu yang berusia 92 tahun menulis di majalah wanita. Menurutnya, jika bangsawan wanita muda akhirnya naik takhta, itu bukanlah sesuatu yang akan dilihat sebagai hal yang tidak wajar.
Akankah kita menjadi saksi sejarah seorang kaisar wanita di Jepang di masa yang akan datang?
Source | : | Washington Post |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR