Nationalgeographic.co.id—Penambangan pasir punya manfaat dalam kehidupan manusia ketika diekstraksi. Selain digunakan sebagai tanah rekayasa (reklamasi), pemanfaatannya bisa untuk pembangunan rumah, sekolah, jalanan, pembuatan kaca, komputer, bahkan cip elektronik.
Semua manfaat itu ada ganjarannya, kerusakan lingkungan. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) lewat laporan April 2022 mengungkapkan, 40 dan 50 miliar ton pasir diekstraksi dari danau, sungai, dan pantai di seluruh dunia tiap tahunnya. Dengan demikian, pasir menjadi sumber daya alam kedua yang paling banyak dieksploitasi.
Dampaknya mulai dari lingkungan hingga planet ini. Penambangan pasir membuat habitat rusak, mengotori sungai, dan mengikis pantai. Hal ini berdampak bagi manusia dengan hilangnya tanah sebagai tempat tinggal karena naiknya permukaan laut akibat abrasi, ditambah krisis iklim.
Di seluruh dunia, aktivitas tambang pasir punya dampak buruk. Dalam makalah di Nature tahun 2019, penambangan pasir membuat ekosistem Sungai Gangga terganggu. Buaya yang biasa menjadi predator di sungai tersebut, terancam punah dan kini tersisa 250 ekor dewasa.
Tepian Sungai Mekong mengalami erosi, menyebabkan berbagai bangunan penduduk ikut runtuh. Hal ini membuat setengah juta orang harus meninggalkan tempat tinggalnya.
Di Indonesia, Pulau Nipa sering tenggelam karena abrasi. Pulau ini kerap menjadi sumber daya pasir tambang untuk diekspor ke Singapura, negara tetangga yang gencar melakukan reklamasi.
"Peradaban kita betul-betul dibangun di atas pasir. Jika seluruh pembangunan kami bergantung pada pasir, itu harus diakui sebagai bahan yang strategis," kata Pascal Peduzzi, direktur GRID-Jenewa (Database Informasi Sumber Daya Global) di dalam rekomendasi UNEP untuk menyelesaikan masalah ini secara global.
Seperti artikel National Geographic Indonesia sebelumnya, pasir laut, sungai, dan danau punya kualitas yang bagus untuk infrastruktur. Berbeda dengan pasir gurun seperti Sahara dan Gobi yang terlalu halus, sulit untuk menggumpal dalam pengolahan, dan rentan hancur ketika dijadikan bahan pembangunan. Selain itu, harga jualnya sangat tinggi di pasar ekspor-impor.
Bahkan, melansir DW, negara berpasir di Timur Tengah seperti Arab Saudi pun harus mengimpor pasir dari Kanada dan Australia. Gedung pencakar langit Uni Emirat Arab, Burj Khalifa pun dibangun dengan pasir impor.
Kesadaran tentang bahayanya penambangan pasir terhadap lingkungan memang ada lewat peraturan di berbagai negara. Hanya saja, peraturan tersebut diterapkan di negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika Serikat.
Sementara, menurut studi di jurnal Science tahun 2017, negara-negara berkembang seperti Vietnam, Kamboja, India, dan Kenya, yang sangat bergantung pada sumber daya pasir. Mereka membutuhkan eksploitasi ini demi perekonomiannya, tetapi mengorbankan pelestarian lingkungan.
Alih-alih menggunakan pasir, penggunaannya mungkin bisa menggunakan daur ulang. Misalnya, dalam studi di jurnal Sustainable Environment Research tahun 2016, mengungkapkan bahwa limbah padat bisa digunakan sebagai alternatif pasir untuk reklamasi. Penerapan cara ini bahkan lebih ramah lingkungan.
Jika pasir digunakan untuk pembangunan infrastruktur, UNEP menyarankan untuk pendauran ulang dari konstruksi tidak terpakai. 90 persen beton puing sebenarnya dapat didaur ulang sebagai pembangunan yang berkelanjutan.
"Tidak seperti banyak bahan mineral mentah lainnya, pasir dan kerikil dapat didaur ulang berkali-kali untuk banyak terapan," kata Peduzzi di Equaltimes. Di beberapa tempat di seluruh dunia sudah mulai menerapkannya dan berhasil.
Contohnya di Mexico City yang memiliki pabrik daur ulang beton. Industri daur ulang ini berada di dekat kota itu, sehingga memudahkan biaya transportasi, dan juga dilindungi undang-undang supaya dapat mendaur ulang lebih baik. Hasil daur ulang ini diterapkan pada konstruksi dan jalanan.
Ini adalah contoh yang berhasil yang semestinya bisa diikuti oleh banyak negara. Sayangnya, sulit untuk menghilangkan paradigma bahwa pasir adalah sumber daya alam yang tidak ada habisnya. Akibatnya, permintaan pasir dari negara maju yang telah punya kebijakannya kepada negara berkembang masih marak.
“Tidak ada satu pendekatan yang merupakan solusi ajaib, tetapi ada banyak kemungkinan yang perlu kita bangun. Skala penggunaan pasir kita sedemikian rupa sehingga perubahan kecil dalam penggunaan sumber daya kami dapat berdampak besar pada lingkungan dan manusia," jelas Josefine Reimer Lynggaard, editor laporan dan anggota GRID-Geneva, UNEP.
Source | : | National Geographic Indonesia,DW,Equaltimes |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR