Alih-alih menggunakan pasir, penggunaannya mungkin bisa menggunakan daur ulang. Misalnya, dalam studi di jurnal Sustainable Environment Research tahun 2016, mengungkapkan bahwa limbah padat bisa digunakan sebagai alternatif pasir untuk reklamasi. Penerapan cara ini bahkan lebih ramah lingkungan.
Jika pasir digunakan untuk pembangunan infrastruktur, UNEP menyarankan untuk pendauran ulang dari konstruksi tidak terpakai. 90 persen beton puing sebenarnya dapat didaur ulang sebagai pembangunan yang berkelanjutan.
"Tidak seperti banyak bahan mineral mentah lainnya, pasir dan kerikil dapat didaur ulang berkali-kali untuk banyak terapan," kata Peduzzi di Equaltimes. Di beberapa tempat di seluruh dunia sudah mulai menerapkannya dan berhasil.
Contohnya di Mexico City yang memiliki pabrik daur ulang beton. Industri daur ulang ini berada di dekat kota itu, sehingga memudahkan biaya transportasi, dan juga dilindungi undang-undang supaya dapat mendaur ulang lebih baik. Hasil daur ulang ini diterapkan pada konstruksi dan jalanan.
Ini adalah contoh yang berhasil yang semestinya bisa diikuti oleh banyak negara. Sayangnya, sulit untuk menghilangkan paradigma bahwa pasir adalah sumber daya alam yang tidak ada habisnya. Akibatnya, permintaan pasir dari negara maju yang telah punya kebijakannya kepada negara berkembang masih marak.
“Tidak ada satu pendekatan yang merupakan solusi ajaib, tetapi ada banyak kemungkinan yang perlu kita bangun. Skala penggunaan pasir kita sedemikian rupa sehingga perubahan kecil dalam penggunaan sumber daya kami dapat berdampak besar pada lingkungan dan manusia," jelas Josefine Reimer Lynggaard, editor laporan dan anggota GRID-Geneva, UNEP.
Source | : | National Geographic Indonesia,DW,Equaltimes |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR