Nationalgeographic.co.id—Sudah lebih dari delapan miliar manusia di muka Bumi dan angkanya terus bertambah di saat Anda membaca artikel ini sebelum tahun 2050. Bertambah jumlah populasinya, artinya tantangan masalah lingkungan serius.
Pasalnya, manusia sebagai yang paling aktif dalam mengubah alam, juga mengeksploitasinya sejak peradabannya berevolusi. Tengoklah pada hutan yang terus menipis. Lahannya beralih menjadi lahan perkebunan untuk kebutuhan pangan manusia seperti sawit dan persawahan.
Hal itu telah lama dipikirkan oleh ekonom Inggris Thomas Malthus dalam esainya, "kekuatan populasi manusia jauh lebih besar daripada kekuatan di bumi untuk menghasilkan penghidupan bagi manusia".
Di tengah gencarnya eksploitasi, sebagian kalangan masyarakat dunia mencari dan menggencarkan usaha untuk menyeimbangkan kekuatan alam dan manusia. Keseimbangan lingkungan penting agar kekacauan yang membahayakan bagi manusia sendiri bisa terjadi.
"Kita, manusia, harus berhenti (merusak) dan memberi waktu bagi alam untuk sembuh kembali," kata Editor In Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasmi dalam diskusi film Semes7a yang diadakan oleh Saya Pilih Bumi dan Waste Less Film Festival 2023 di Jakarta pada Senin, 5 Juni 2023.
"Kalau tidak, alam yang nanti secara sendirinya bakal menghentikan secara paksa untuk bisa sembuh seperti pandemi," lanjutnya.
Film Semes7a adalah dokumenter yang diproduseri Amanda Marahimin dan Nicholas Saputra, tayang perdana pada 2018. Berkisah usaha pelestarian lingkungan dari berbagai kalangan mulai dari kalangan adat yang menjaga hutan, rohaniawan, pelestarian ekosistem laut, pegiat energi terbarukan di perkampungan, hingga ruang hijau perkotaan.
Menurut Didi, film ini sebagai pengingat bahwa sebenarnya isu lingkungan bukan pembicaraan segelintir pihak. Garda terdepan pelestarian alam berada pada kalangan adat dan masyarakat di daerah yang justru kurang memahami aturan undang-undang tentang konservasi. Tradisi dan keyakinan yang dimiliki, membuat mereka memahami secara sendirinya untuk menyeimbangkan alam.
"Di halaman kita, National Geographic Indonesia, berkait dengan perjumpaan dengan masyarakat-masyarakat adat, ini justru memperkaya perspektif keindonesiaan kita," ujar Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia.
"Sebenarnya leluhur-leluhur kita dulu itu sudah punya cara mengakrabi alam—mengakrabi semesta, sehingga kehidupan mereka tetap harmoni dan cara seperti itu kampanye menjadi kerinduan (terhadap mendekati alam) untuk kita sekarang ini," lanjutnya.
Pasalnya, kalangan adat secara turun temurun telah membangun tatanannya dengan mendekatkan diri kepada alam.
Hal itu tertuang bagaimana kalangan masyarakat adat di Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat, mengatur kawasan lahan seperti hutan adat (hutan lindung), hutan pemanfaatan, dan kawasan penduduk. Mereka menerapkan aturan bahwa setiap masyarakat adatnya tidak boleh sembarangan menebang kayu.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR