Nationalgeographic.co.id—Di atas adalah foto yang punya cerita memilukan. Sekelompok samurai Jepang berdiri di depan Sphinx Agung Giza di Mesir tahun 1864. Kepiluannya, foto ini membuktikan perjuangan para samurai dalam sejarah Kekaisaran Jepang yang rela jauh-jauh, menjalin hubungan dengan negeri-negeri lain.
Foto itu nyata, bukan hasil suntingan. Walau janggal rasanya melihat foto lawas Sphinx Agung Giza dikelilingi orang-orang berpakaian tradisional Jepang. Kenyataannya, sekelompok samurai Kekaisaran Jepang ini adalah rombongan "Misi Ikeda" atau Kedutaan Besar Jepang Kedua untuk Eropa, di bawah Keshogunan Tokugawa.
Pemimpin rombongannya ini adalah Ikeda Nagaoki yang merupakan pemimpin beberapa desa di Provinsi Bitchu (kini Prefektur Okayama). Mereka berusaha menyelesaikan perselisihan yang membara atas pelabuhan Yokohama.
Tahun 1862, dua tahun sebelum keberangkatan Kedutaan Besar Jepang Kedua, Kekaisaran Jepang mengadakan misi Kedutaan Besar Jepang Pertama. Misi pertama itu juga dikirim oleh Keshogunan Tokugawa (1603–1868) dengan misi untuk menunda pembukaan kota-kota Jepang untuk pengunjung dan perdagangan asing.
Kekaisaran Jepang berupaya agar negeri mereka tidak dijajah oleh orang Eropa seperti yang terjadi pada negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika. Itu sebabnya, Kekaisaran Jepang menerapkan isolasi yang ketat yang disebut kaikin atau sakoku yang diterapkan sejak abad ke-17.
Pada saat inilah disebut era keterisolasian Kekaisaran Jepang dari dunia luar. Akan tetapi, tidak semua kota di Jepang mengikuti peraturan ini.
Yokohama, misalnya, sekitar tahun 1853. Komodor AS Matthew Perry pernah singgah di pantainya bersama armada kapal perang. Dia menuntut agar Kekaisaran Jepang terpaksa membuka pelabuhannya untuk perdagangan internasional. Yokohama pun dibuka.
Pembukaan ini membuat Kekaisaran Jepang merasa tidak nyaman. Pengaruh orang asing di Jepang membuat sentimen anti-asing.
Kaisar Komei (berkuasa 1846—1867) bahkan membuat peraturan anti-asing yakni "Hormati Kaisar, Usir Orang Barbar". Dia pun mulai mengubah status terbukanya Yokohama menjadi tertutup.
Namun, informasi penutupan ini tak diketahui oleh orang-orang Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, Misi Ikeda pada 1863 dilakukan sebagai upaya negosiasi penutupan Yokohama. Rombongan berisi 34 orang ini menggunakan kapal perang Prancis dengan singgah di Shanghai, India, dan Kairo.
Foto di atas diambil oleh Antonio Beato, fotografer Inggris kelahiran Italia. Fotografer itu sering memotret pemandangan dan arsitektur. Maka, tidak heran bila rombongan samurai ini juga berfoto di Sphinx Agung Giza.
Kemudian, dari Kairo, mereka melakukan perjalanan dengan kereta api. Rombongan ekspedisi ini pun berlayar melintasi Laut Mediterania untuk tiba di Prancis. Mereka bahkan mencapai Paris untuk menunaikan misi dari Kekaisaran Jepang.
Keberadaan mereka di Prancis bahkan dipotret oleh Louis Rousseau saat mereka berkunjung ke Institute of Medicine di Paris. Anda bisa melihat kumpulan foto para delegasi itu di sini. Menurut keterangan foto, delegasi dari Kekaisaran Jepang ini sangat keras kepala.
Dari kumpulan foto tersebut, tampak jelas bahwa para samurai ini dipersenjatai dengan dua pedang. Dua pedang menandakan bahwa mereka adalah samurai yang terhormat, kelas pejuang dengan pendidikan tinggi di Kekaisaran Jepang yang punya kendali politik.
Kisah pilu rombongan samurai Kekaisaran Jepang
Di Prancis, misi mereka untuk menyampaikan kepada para penguasa di Eropa gagal total. Tuntutan mereka ditolak mentah-mentah. Rombongan yang dipimpin oleh Ikeda Nagaoki harus pulang ke Kekaisaran Jepang untuk membawa kabar buruk ini ke Keshogunan Tokugawa.
Meski demikian, Nagaoki tidak terlalu kecewa. Selama perjalanan ke Eropa, ia terkesan dengan betapa majunya Prancis. Dalam perjalanan pulang, ia pun membawa buku-buku dari perpustakaan yang kaya akan ilmu pengetahuan. Buku yang dibawanya antara lain fisika, biologi, manufaktur, tekstil, dan teknologi fermentasi.
Iri dengan kemajuan Prancis, Nagaoki hendak mencoba mendidik murid-muridnya di Kekaisaran Jepang. Dengan buku-buku yang dibawanya, ia ingin Jepang kelak bisa memahami peradaban Barat dan kemajuan teknologinya, bahkan membalap kemajuan.
Selain itu, ia juga membawa anggur (wine) dari Prancis. Hal ini membuatnya sebagai bapak industri wine di dalam sejarah Kekaisaran Jepang.
Setibanya di Kekaisaran Jepang, karena misi diplomasi itu gagal, Ikeda dan rombongannya ditahan oleh otoritas Keshogunan Tokugawa.
Nahasnya, sebelum mereka tiba, sentimen anti-asing sudah parah. Musim panas 1863 (beberapa waktu setelah rombongan Nagaoki berangkat), perang de facto yang singkat pecah akibat klan Chosu memberontak dengan menembaki semua orang asing. Orang asing yang berlayar dan memasuki wilayah kendali mereka seperti orang Amerika, Prancis, dan Amerika, diserang.
Militer AS dan Prancis pun menggempur pasukan Jepang yang tidak punya senjata modern, dan kurang berpengalaman. Angkatan Laut Prancis bahkan menyerbu beberapa desa. Akibatnya kerugian besar terjadi. Inilah salah satu faktor mengapa diplomasi Misi Ikeda gagal.
Keshogunan Tokugawa runtuh pada 1868. Kekaisaran Jepang pun memulai Restorasi Meiji yang membuat Jepang memasuki babak modernisasi, industrialisasi, dan urbanisasi yang cepat. Mereka ingin menyaingi keunggulan Barat, seperti yang diinginkan Nagaoki, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai budaya.
Perubahan politik pun terjadi ketika Kyoto, ibu kota Kekaisaran Jepang kuno, dikudeta. Para samurai menjaga otoritas Tokugawa agar tetap berdiri, tetapi gagal.
Maka, pemerintahan Kekaisaran Jepang yang baru di bawah restorasi Meiji menghapus hak istimewa kelas feodal. Restorasi Meiji pun menghapus jabatan samurai, dan diganti dengan peraturan wajib militer.
Perbedaannya, untuk menjadi samurai harus punya latar belakang feodal. Hal itu yang menyebabkan banyak shogun dan pejabat lainnya di Kekaisaran Jepang, punya latar belakang samurai. Sementara pada wajib militer, siapa saja bisa menjadi tentara untuk melindungi negara, tanpa memandang latar belakang.
Secara otomatis, Nagaoki kehilangan pekerjaannya sebagai samurai. Dia wafat pada 12 September 1879.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR