Nationalgeographic.co.id—Antara abad ke-12 dan ke-19, feodal Jepang memiliki sistem kelas empat tingkat yang rumit. Tidak seperti masyarakat feodal Eropa, di mana petani (atau budak) berada di bawah, struktur kelas feodal Jepang menempatkan pedagang di anak tangga paling bawah. Ideologi Konfusius menekankan pentingnya produktivitas. Karena itu, petani dan nelayan memiliki status lebih tinggi daripada pemilik toko di Kekaisaran Jepang. Dan kelas samurai berada di kelas tertinggi.
Seperti apa pembagian kelas sosial di Kekaisaran Jepang di masa lalu itu?
Samurai
Meskipun jumlah samurai hanya sekitar 10 persen dari populasi, samurai dan penguasa daimyo memiliki kekuatan yang sangat besar.
Ketika seorang samurai lewat, anggota kelas bawah diminta untuk membungkuk dan menunjukkan rasa hormat. Jika seorang petani atau perajin menolak untuk membungkuk, samurai secara hukum berhak memenggal kepala orang yang membangkang itu.
"Samurai hanya tunduk kepada daimyo tempat mereka bekerja," tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco. Daimyo, pada gilirannya, hanya tunduk pada shogun. Ada sekitar 260 daimyo pada akhir era feodal di Kekaisaran Jepang. Setiap daimyo menguasai wilayah yang luas dan memiliki pasukan samurai.
Petani
Tepat di bawah samurai di tangga sosial adalah petani. Menurut ajaran Konfusius, petani lebih unggul daripada perajin dan pedagang. Mengapa? Petani menghasilkan makanan yang menjadi sandaran semua kelas lainnya. Meskipun secara teknis mereka dianggap sebagai kelas terhormat, petani hidup dengan beban pajak yang berat selama era feodal.
Pada masa pemerintahan shogun Tokugawa ketiga, Iemitsu, para petani tidak diperbolehkan menikmati padi yang mereka tanam. Mereka harus menyerahkan semuanya kepada daimyo dan kemudian menunggu sang daimyo mengembalikannya sebagai amal.
Perajin
Meskipun perajin menghasilkan banyak barang yang indah dan berguna, mereka dianggap kurang penting dibandingkan petani. Bahkan pembuat pedang samurai dan pembuat perahu yang terampil termasuk dalam masyarakat kelas tiga ini di Kekaisaran Jepang di masa lalu.
Kelas perajin tinggal di bagiannya sendiri di kota-kota besar, dipisahkan dari samurai dan dari kelas pedagang yang lebih rendah.
Pedagang
Anak tangga terbawah masyarakat feodal di Kekaisaran Jepang ditempati oleh para pedagang, termasuk pedagang keliling dan pemilik toko. Pedagang sering dikucilkan dan dipandang sebagai parasit. Mereka mendapat untung dari kerja keras kelas petani dan perajin yang lebih produktif. Pedagang tidak hanya tinggal di bagian terpisah dari setiap kota, tetapi kelas yang lebih tinggi juga dilarang untuk bergaul dengan mereka kecuali saat melakukan bisnis.
Meskipun demikian, banyak keluarga pedagang mampu mengumpulkan kekayaan besar. Ketika kekuatan ekonomi tumbuh, pengaruh politik mereka pun meningkat. Pada akhirnya, pembatasan terhadap pedagan kaya pun kian melemah.
Orang-orang di luar sistem pembagian kelas sosial empat tingkat di Kekaisaran Jepang
Meskipun Jepang feodal dikatakan memiliki sistem sosial berjenjang empat, beberapa orang Jepang hidup di luar kelas itu. Ada yang di atas dan bahkan di bawahnya.
Di puncak masyarakat adalah shogun, penguasa militer di Kekaisaran Jepang. Shogun umumnya adalah daimyo yang paling kuat. Ketika Klan Tokugawa merebut kekuasaan pada tahun 1603, keshogunan menjadi turun-temurun. Tokugawa memerintah selama 15 generasi hingga tahun 1868.
Meskipun shogun menjalankan pemerintahan, mereka memerintah atas nama Kaisar Jepang. Kaisar, keluarganya, dan bangsawan istana memiliki sedikit kekuasaan. Namun, mereka secara nominal berada di atas shogun dan juga di atas sistem empat tingkat.
Kaisar Jepang menjabat sebagai pemimpin boneka untuk shogun. Mereka juga bertindak sebagai pemimpin agama Jepang. Pendeta dan biksu Buddha dan Shinto berada di atas sistem empat tingkat juga.
Sebagian orang yang bernasib malang juga jatuh di bawah anak tangga paling bawah dari tangga empat tingkat. Orang-orang ini termasuk etnis minoritas Ainu, keturunan budak, dan mereka yang bekerja di industri tabu. Tradisi Buddha dan Shinto mengutuk orang yang bekerja sebagai tukang jagal, algojo, dan penyamak kulit sebagai najis. Mereka dikenal sebagai eta di Kekaisaran Jepang.
Selain eta, ada hinin. Hinin adalah kelompok buangan dari empat kelas sosial yang ada. Kelompok ini terdiri dari aktor, penyair pengembara, dan penjahat yang dihukum. Pelacur, termasuk oiran, tayu, dan geisha, juga hidup di luar sistem empat tingkat.
Transformasi sistem empat tingkat
Selama era Tokugawa, kelas samurai kehilangan kekuasaan. Itu adalah era damai, jadi keterampilan samurai tidak diperlukan. "Lambat laun mereka berubah menjadi birokrat atau pengembara yang kerap berbuat onar," tambah Szczepanski.
Meski begitu, bagaimanapun, samurai diizinkan dan diharuskan membawa dua pedang yang menandai status sosial mereka. Namun samurai kehilangan hak istimewanya dan para pedagang memperoleh kekayaan dan kekuasaan. Saat itulah tabu-tabu terhadap berbagai kelas yang berbaur dipatahkan dengan keteraturan yang semakin meningkat.
Kelas baru, chonin, terbentuk, dengan pedagang dan perajin yang bergerak menaiki tangga sosial. Selama masa "Dunia Terapung", para samurai dan pedagang berkumpul untuk menikmati kebersamaan dengan pelacur atau menonton pertunjukan kabuki. Di masa ini, percampuran kelas menjadi aturan dan bukan pengecualian.
Dunia Terapung adalah masa yang membosankan bagi masyarakat Jepang. Banyak orang merasa terkunci dalam keberadaan yang tidak berarti. Di masa itu, yang mereka lakukan hanyalah mencari kesenangan dari hiburan duniawi sambil menunggu untuk melanjutkan ke dunia berikutnya.
Akhir dari sistem empat tingkat di Kekaisaran Jepang
Pada tahun 1868, "Dunia Terapung" berakhir, karena sejumlah guncangan radikal mengubah Kekaisaran Jepang sepenuhnya. Kaisar Jepang merebut kembali kekuasaan dengan haknya sendiri, sebagai bagian dari Restorasi Meiji. Ia menghapus jabatan shogun. Kelas samurai dibubarkan dan kekuatan militer modern diciptakan sebagai penggantinya.
Source | : | ThoughtCo. |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR