Bagaimana Kehidupan Samurai Kekaisaran Jepang di Era Meiji?
Transformasi sosial yang luar biasa terjadi di era ini. Salah satunya adalah akhir dari kelas prajurit aristokrat atau samurai.
Selama beberapa generasi, status samurai berada atas petani, pedagang, dan perajin. Tetapi modernisasi dan reorganisasi di Era Meiji membuat mereka kehilangan hak istimewanya.
Pada tahun 1870, sebuah akademi militer dilembagakan. Pada tahun 1876, penggunaan pedang samurai dilarang.
Samurai yang lebih muda menyadari betapa tertinggalnya teknologi mereka dibandingkan dengan kekuatan militer barat. Mungkin yang lebih penting, mereka juga memahami bahwa organisasi militer sama pentingnya dengan persenjataan. Mereka ingin mereformasi seluruh konsep kekuatan militer di Kekaisaran Jepang.
Kemerosotan kelas samurai merupakan akibat langsung dari reformasi militer yang dilakukan pada hari-hari terakhir rezim Tokugawa. Egalitarianisme menjadi mesin yang membawa Jepang ke monarki parlementer dengan tingkat melek huruf yang tinggi.
Beberapa samurai berada di garis depan seruan untuk reformasi. Faktanya, beberapa pemuda cemerlang dari Restorasi Meiji itu adalah mantan samurai. Selain membentuk militer Jepang yang baru, mantan samurai juga menjadi pegawai negeri, guru, pedagang, bahkan petani.
Di era ini, terjadi transformasi dari samurai menjadi pemegang jabatan modern. Sebagian besar lebih dari bersedia untuk memotong jambul khas mereka dan bergabung dengan kelas menengah.
Ketika daimyo dihapuskan dan domain diganti dengan prefektur, daimyo dan pengikutnya pun “pensiun”. Langkah untuk menghapus domain feodal secara efektif mengakhiri era daimyo di Jepang.
Setelah perubahan, banyak daimyo tetap memegang kendali atas tanah mereka. Mereka pun ditunjuk sebagai gubernur prefektur. Anggota keluarga mantan daimyo tetap menonjol di pemerintahan dan masyarakat.
Perubahan radikal di Era Meiji perlahan membentuk Jepang menjadi kekaisaran seperti yang kita ketahui sekarang ini.
Source | : | thought.co,JSTOR |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR