Nationalgeographic.co.id—Upacara minum teh di Kekaisaran Jepang, yang disebut chado, merupakan bentuk seni unik dari Jepang yang telah berkembang selama 500 tahun.
Meskipun sebenarnya inti dari upacara ini adalah menyeduh teh sampai menyajikan dan meminumnya, terdapat rangkaian yang sangat kompleks.
Menulis pada tahun 1933, seorang sarjana Jepang, A.L. Sadler, mengatakan bahwa upacara ini melibatkan 37 langkah yang tidak berubah hingga hari ini.
Para ahli teh mengatakan bahwa dibutuhkan waktu 10 tahun belajar untuk menguasai upacara ini secara keseluruhan.
Upacara minum teh masih dipraktikkan secara luas di Kekaisaran Jepang. Bahkan, beberapa masyarakat luar Jepang juga sering meniru upacara ini.
"Saat ini, orang-orang di Jepang berpartisipasi dalam upacara minum teh karena alasan sosial dan spiritual," kata Jennifer L. Anderson, seorang dosen emeritus di bidang antropologi di San Jose State University.
"Sebagian besar orang menikmati kebersamaan dengan teman minum teh dan estetika teh–rangkaian bunga, gulungan dengan kaligrafi, serta peralatannya, yang semuanya bervariasi sesuai musim. Hal ini tidak berubah selama ratusan tahun."
Pengobatan dan meditasi
Upacara minum teh berawal dari biara-biara Buddha di Tiongkok. Saat itu teh digunakan untuk tujuan pengobatan dan sebagai stimulan untuk mengusir rasa kantuk selama meditasi.
Pada masa dinasti Tang di Tiongkok (618-907 M), teh sangat digemari oleh para penduduk dan menjadi minuman yang sangat populer.
Kukai, seorang biksu Jepang yang belajar agama Buddha di China, memperkenalkan sekte Buddha Shingon ke Jepang pada tahun 806. Ia juga membawa teh hijau ke istana Jepang.
Suguhan teh mulai menjadi populer di kalangan bangsawan istana Kekaisaran Jepang dan juga dalam upacara-upacara Buddha.
Salah satu upaya lainya yang menjadikan teh populer di Kekaisaran Jepang adalah ketika abad ke-12 biksu Eisai membawa benih teh untuk ditanam.
Ia juga menerapkan metode matcha: teh hijau bubuk yang dapat dicampur ke dalam minuman kental berbusa.
Selain membawa amunisi teh, setelah pulang belajar dari tanah Tiongkok, Eisai juga membawa ajaran Buddha Zen ke Jepang.
Ia dianggap sebagai pendiri Rinzai Zen, yang didasarkan pada keyakinan bahwa pencerahan dapat dicapai dengan melakukan tindakan sehari-hari.
Para biksu Jepang menerapkan keyakinan tersebut dalam meminum teh. Pada akhirnya hal itu menjadi ritual khas Kekaisaran Jepang yang sekarang dikenal sebagai upacara minum teh chado.
"Ritual minum teh saat ini adalah fenomena Jepang," kata Anderson. "Penekanan pada keindahan musiman dan koreografi formal sangat khas Jepang."
Teh dan Samurai Kekaisaran Jepang
Selama periode Muromachi (sekitar tahun 1333-1573),panen teh di Kekaisaran Jepang semakin meningkat. Hal ini juga diikuti semakin populernya minuman ini di kalangan prajurit dan pedagang.
Mereka mengadakan jamuan makan mewah dengan menyajikan semangkuk matcha. Kadang-kadang sake juga disajikan, hal ini mengubah acara minum teh di wihara menjadi pesta yang meriah.
Para tamu berkompetisi dengan memamerkan keramik mahal dan peralatan minum teh dari Tiongkok, serta gulungan dan lukisan.
Para pemimpin samurai bahkan mengirim utusan ke Tiongkok untuk mengumpulkan benda-benda khusus demi acara-acara seperti itu.
Pada tahun 1467, hampir dua abad peperangan meletus ketika para panglima perang samurai bertempur untuk menguasai Jepang selama periode Sengoku.
Dalam masa ini, upacara minum teh menjadi ritual yang lebih diatur.
Herbert Plutschow, seorang cendekiawan Jepang, menulis bahwa teh, yang didasarkan pada konsep Zen tentang harmoni dan rasa hormat, membantu membangun kesepakatan di antara para pesaing.
"Untuk mengatasi kekacauan secara ritual, teh harus menjadi seni ritual yang sangat halus," katanya. "Tanpa teh, kehancuran pada masa Negara-negara Berperang mungkin akan jauh lebih buruk."
Dalam periode Sengoku, upacara minum teh menjadi lebih tenang alih-alih pesta meriah. Peralatan minum tehnya pun menjadi lebih sederhana–menggunakan kayu, bambu, gading, dan perunggu dari Tiongkok–seperti yang tertulis dalam Kokoro no fumi.
Ruangan dalam menikmati teh juga menjadi sederhana. Ruangan itu hanya akan terdiri dari empat setengah tikar tatami (sekitar 24 meter persegi), menciptakan ruang simbolis yang dikenal sebagai soan cha, atau pondok teh jerami.
Suasana ketenangan, disiplin, dan kesungguhan ini menarik banyak orang untuk masuk, terutama di kalangan samurai.
Seiring berjalanya waktu upacara minum teh mengalami perkembangan, namun tetap menitikberatkan pada kesederhanaan. Setelah pergolakan Perang Dunia II, upacara minum teh semakin populer sebagai cara untuk mempertahankan tradisi Jepang.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR