Nationalgeographic.co.id—Pasca-penghapusan perundang-undangan tentang perbudakan pada tahun 1863, terjadi kekurangan pekerja di lahan perkebunan, utamanya onderneeming (perkebunan) di koloni Belanda.
Catatan sejarah kolonial juga menyebut bahwa dampak penghapusan perbudakan ini juga terjadi antara dua wilayah koloni Belanda: Indonesia dan Suriname.
Sejauh kurang lebih 18.864 km, jarak yang memisahkan antara Indonesia dengan Suriname. Hampir setengah jauhnya permukaan bumi, ada banyak kerinduan bagi mereka, komunitas Jawa yang hidup di Suriname.
Semua berawal dari munculnya werk atau calo di Hindia-Belanda yang mencari tenaga kerja, untuk dipekerjakan dengan upah murah di Suriname.
"Dari tahun 1890 hingga 1939, sebanyak 32.956 orang diangkut dari Hindia Belanda ke Suriname," tulis Werner Stauder kepada Historiek dalam artikel berjudul "Een zesjarige contractarbeidster in Suriname" terbitan 6 Oktober 2022.
Dalam kapal yang mengangkut 32.956 orang itu, terdiri dari 19.088 laki-laki, 12.408 perempuan, dan 1.460 anak-anak. Salah satu dari anak-anak tersebut adalah Mijem Sarwi. Mijem Sarwi adalah pribumi Sunda yang kala itu baru berusia enam tahun.
Mijem Sarwi dilahirkan pada 17 Oktober 1913 di desa Tjimenjan, distrik Oedjoengboeroeng, Bandoeng, wilayah Preanger di Jawa Barat, Hindia Belanda. Ia berangkat berlayar dari pelabuhan Semarang di tahun 1919.
Ketika diberangkatkan ke Suriname, ia masih berusia enam tahun, bersama dengan ibunya, Nji Sari. Bisa dikatakan mereka jadi korban perdagangan manusia yang dilakukan oleh otoritas kolonial, yang sebenarnya tidak lebih dari kelanjutan perbudakan dengan kedok baru—buruh kontrak.
Sarmoedjie menulis buku berjudul "Mengintip" sejarah dan perjuangan para mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Indonesia, di Suriname, terbit pada 2006, menjelaskan tentang sejarah awal migrasi orang-orang Jawa ke Suriname.
Orang-orang yang merekrut para pekerja kontrak itu (werk) akan memperoleh 80 gulden per orangnya. Oleh karenanya, mereka menjadi sangat tertarik untuk merekrut sebanyak mungkin pekerja, sehingga mereka tidak segan-segan dan tidak ragu-ragu menggunakan cara-cara yang tidak diperbolehkan.
Mereka (para TKI) dikelabui oleh werk, mereka dijanjikan akan mendapat 60 sen perhari atau dua kali lipat lebih banyak daripada yang mereka dapat di perkebunan Hindia-Belanda.
Kenyataannya, para TKI di Suriname hanya mendapatkan 40 sen perhari bagi laki-laki dan 30 sen perhari bagi pekerja wanita.
Sebelumnya juga dalam isu yang dijanjikan, para buruh kontrak Jawa di Suriname dapat kembali lagi ke Jawa, tetapi pada kenyataannya, mereka dipersulit birokrasinya untuk bisa kembali pulang ke Jawa.
Semua isu yang dihembuskan hanya berita palsu, "ketika mereka sampai dan melakukan kontrak kerja, semuanya berbeda dari yang mereka bayangkan," pungkas Sarmoedjie .
Dengan cara-cara mereka menghasut dan mempropaganda, banyak dari keluarga pribumi akan kehilangan keluarga lainnya, karena banyak dari mereka yang berangkat ke Suriname, tidak akan bisa kembali, atau kembali dengan waktu yang sangat lama.
Setelah mendaftar, Mijem dan ibunya menunggu selama beberapa hari di Semarang, dalam lingkungan yang kurang nyaman dan sanitasi yang buruk. Setelah menunggu sekian lamanya, Mijem dan ibunya dapat giliran untuk berangkat.
Pada hari Rabu, 5 November 1919, mereka berangkat dari Semarang dengan nomor sampel 607 bersama 631 orang Jawa lainnya. Mereka berlayar dengan kapal uap De Madioen yang diperkirakan akan tiba di Suriname 47 hari kemudian.
Kapal uap De Madioen seberat 6.800 ton di bawah komando Kapten Ruhaak tiba beberapa hari lebih lambat dari yang diperkirakan. Kapal itu tiba di Paramarimbo, Suriname pada Senin malam, 22 Desember 1919.
Melalui laporan yang dikutip dalam catatan sejarah kolonial, disebutkan bahwa keterlambatan itu terjadi karena kapal sempat mengalami masalah saat melalui Tanjung Harapan.
Sejarah kolonial mencatat, bilah baling-baling kapal menghilang sebagian karena membentur objek yang tak diketahui di bawah laut. "[Hal] itu membuat kapal berkurang kecepatannya dari 11 mil/jam menjadi 8 mil/jam," imbuh Werner.
Ketika tiba beberapa mil sebelum sampai di Paramarimbo, Mijem Sarwi beserta seluruh rombongan dari Jawa dijemput oleh kapal uap kolonial Koningin Wilhelmina untuk menghindari keterlambatan transshipment dan mendarat di Paramaribo pada sore hari.
Terhitung sampai dengan Senin malam hari, segenap rombongan sampai di Paramarimbo. Kontrak kerja sebagai buruh tersebut berlaku segera setelah mereka tiba di Paramaribo.
"Itulah sebabnya Mijem Sarwi dan ibunya segera dibawa dari kota ke Aliansi perkebunan gula untuk bekerja dengan upah yang rendah dalam kondisi kerja yang sangat buruk," terusnya.
Sejarah kolonial juga mengungkap, selama Nji Sari berada di Suriname, kemungkinan bertemu dengan Matkassam yang diperkirakan oleh Werner Stauder sebagai ayah tiri Mijem Sarwi. Matkassam diperkirakan berasal dari Jawa Timur, sehingga tidak mungkin mereka menikah sebelum berangkat ke Suriname.
Werner juga memberikan historiografi kritis terhadap neneknya itu—Mijem Sarwi, nenek dari penulis, Werner Stauder—bahwa kemungkinan ibunya, Nji Sari bertemu Matkassam di perkebunan.
Diperkirakan Sarwi tidak bekerja, hanya saja catatan sejarah kolonial menyebutkan bahwa ia ikut bersama ibunya hingga ia dewasa dan melahirkan banyak keturunan di sana. Termasuk istri dari Werner Stauder yang merupakan cucu Mijem Sarwi.
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR