Taiganja adalah simbol yang sangat berharga bagi masyarakat Sulawesi Tengah. Simbol ini menjadi salah satu perhiasan yang terbuat dari perunggu dan emas, sebagai mahar perkawinan dari laki-laki untuk perempuan.
Ada pula simbol taiganja digunakan dalam motif batik. Hal itu diungkap dalam International Seminar dengan materi bertajuk "Batik Bomba: Kaili's Cultural Identity in Artwork" tahun 2022. Taiganja pun menjadi simbol status sosial bagi seseorang dalam masyarakat tradisional di berbagai daerah di Sulawesi Tengah.
Perempuan dalam masyarakat tradisional Sulawesi Tengah
Simbol taiganja menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang mulia dalam masyarakat tradisional Sulawesi Tengah, khususnya suku Kaili dan Kulawi. Benda tersebut hanya boleh dipakai oleh kalangan perempuan sebagai simbol kebesarannya.
Dalam peran gender, perempuan berperan sebagai penyimpan adat yang disebut Ntina. "Kalau saya asumsikan dengan sistem pemerintahan sekarang, kaum perempuan itu seperti legislatif, laki-laki sebagai eksekutif," Iksam menguraikan.
"Jadi, kalau dalam pemberian marga menggunakan dari laki-laki tetapi dalam rumah yang menyimpan adat, konsep kebijakan adalah dari kaum perempuan," lanjutnya.
Masalahnya, kedudukan perempuan di Sulawesi Tengah hari ini mengalami degradasi. Sulawesi Tengah memiliki kasus pernikahan anak sebesar 15,8 persen dari total penduduknya, yang merupakan di atas rata-rata nasional.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat. Setidaknya ada 194 kasus kekerasan perempuan di Sulawesi Tengah yang tercatat dari Januari hingga Mei 2023.
"Bbeerapa saat, atau mungkin saya bisa katakan 25 tahun terakhir itu [kesetaraan gender] ada distorsi," kata Iksam. "Kaum perempuan sendiri sudah kurang nilai penghormatan dari masyarakat."
Maka untuk menjunjung kembali harkat perempuan di kalangan masyarakat adalah revitalisasi kebudayaan. Perlu ada penyesuaian masyarakat modern hari ini di Sulawesi Tengah dengan kebudayaan yang relevan, agar perempuan tidak lagi menjadi sasaran kekerasan berbasis gender.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR