Nationalgeographic.co.id—Perjalanan saya di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyinggahi Taman Taiganja yang berada di tepi timur Sungai Palu. Pepohonan di taman terbuka itu masih muda, menandakan taman baru dibuka beberapa bulan sebelumnya. Tepatnya, taman ini baru dibuka pada Maret lalu.
Setelah diresmikan, berbagai kegiatan masyarakat dilakukan di Taman Taiganja, termasuk kegiatan Potomu Ntodea—pasar warga, sebagai bagian dalam rangkaian Festival Lestari V yang diadakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada 23 sampai 25 Juni 2023.
Pada bagian selatan taman di dekat tepian sungai, sepasang tugu berdiri dengan indah. Awalnya, saya menduga itu adalah tanduk karena Pulau Sulawesi merupakan tempat endemik anoa (Bubalus sp.). Dugaan saya terbantahkan karena 'tanduk' tersebut melengukung saling berhadapan, bukan tegak lurus seperti pada anoa.
Rupanya, simbol ini tertera dalam lambang Kabupaten Sigi, dan yang serupa pada lambang Universitas Tadulako (UNTAD) di Palu. Ini menandakan bahwa simbol tersebut punya makna yang sangat dalam bagi masyarakat di Sulawesi Tengah.
Tugu itu merupakan simbol yang mengikuti perhiasan taiganja. Dalam bahasa Kaili, tai berarti perut atau rahim, dan ganja berarti bentuk atau rupa. Maka, simbol ini merepresentasikan rahim yang menyesuaikan namanya, dengan arti sebagai lambang kesuburan.
"Memang seperti itu (berarti kesuburan). Itu (taiganja) memang simbol untuk perempuan" kata Iksam, Kepala Bidang Pelestarian di Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah. Dia menyebutkan bahwa taiganja merupakan perhiasan berbahan tembaga dan emas yang sudah dikenal oleh masyarakat Kaili.
Nama ganja sebagai simbol dan makna, secara bahasa terpengaruh oleh bahasa Sansekerta, terang Iksam. "Dalam deskripsi keris (sebagai senjata di kebudayaan Jawa), itu ada sudut tajam namanya ganja juga," tuturnya.
Dalam Serat Centhini, ganja merujuk pada ujung pesi yang bisa masuk ke dalam bilah keris. Ganja memang dikenal sebagai benda logam yang sangat penting dalam ketahanan senjata tradisional Jawa.
Sementara itu, simbol taiganja yang berupa rahim tidak hanya dikenal oleh masyarakat di Sulawesi Tengah saja, tutur Iksam. Di daerah lain di Nusantara, seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, mengenalnya sebagai mamuli yang merupakan perihasan anting-anting dari emas berbentuk huruf latin omega.
Baik taiganja dan mamuli merupakan ciri khas peninggalan kebudayaan Austronesia semasa Paleometalik, terang Iksam. Kebudayaan di Nusantara memang identik dengan simbol reproduksi.
Selain mamuli, ada juga dugaan simbol yoni (alat reproduksi perempuan) ada pada gambar cadas di Misool, Papua Barat Daya. Sahabat mungkin juga tidak asing dengan simbol yoni yang ada pada berbagai situs candi di Pulau Jawa dan Sumatera dari batu.
Taiganja adalah simbol yang sangat berharga bagi masyarakat Sulawesi Tengah. Simbol ini menjadi salah satu perhiasan yang terbuat dari perunggu dan emas, sebagai mahar perkawinan dari laki-laki untuk perempuan.
Ada pula simbol taiganja digunakan dalam motif batik. Hal itu diungkap dalam International Seminar dengan materi bertajuk "Batik Bomba: Kaili's Cultural Identity in Artwork" tahun 2022. Taiganja pun menjadi simbol status sosial bagi seseorang dalam masyarakat tradisional di berbagai daerah di Sulawesi Tengah.
Perempuan dalam masyarakat tradisional Sulawesi Tengah
Simbol taiganja menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang mulia dalam masyarakat tradisional Sulawesi Tengah, khususnya suku Kaili dan Kulawi. Benda tersebut hanya boleh dipakai oleh kalangan perempuan sebagai simbol kebesarannya.
Dalam peran gender, perempuan berperan sebagai penyimpan adat yang disebut Ntina. "Kalau saya asumsikan dengan sistem pemerintahan sekarang, kaum perempuan itu seperti legislatif, laki-laki sebagai eksekutif," Iksam menguraikan.
"Jadi, kalau dalam pemberian marga menggunakan dari laki-laki tetapi dalam rumah yang menyimpan adat, konsep kebijakan adalah dari kaum perempuan," lanjutnya.
Masalahnya, kedudukan perempuan di Sulawesi Tengah hari ini mengalami degradasi. Sulawesi Tengah memiliki kasus pernikahan anak sebesar 15,8 persen dari total penduduknya, yang merupakan di atas rata-rata nasional.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat. Setidaknya ada 194 kasus kekerasan perempuan di Sulawesi Tengah yang tercatat dari Januari hingga Mei 2023.
"Bbeerapa saat, atau mungkin saya bisa katakan 25 tahun terakhir itu [kesetaraan gender] ada distorsi," kata Iksam. "Kaum perempuan sendiri sudah kurang nilai penghormatan dari masyarakat."
Maka untuk menjunjung kembali harkat perempuan di kalangan masyarakat adalah revitalisasi kebudayaan. Perlu ada penyesuaian masyarakat modern hari ini di Sulawesi Tengah dengan kebudayaan yang relevan, agar perempuan tidak lagi menjadi sasaran kekerasan berbasis gender.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR