Nationalgeographic.co.id—Bumi telah kehilangan area hutan hujan atau hutan tropis penyerap karbon yang lebih besar dari luas negara Swiss atau Belanda pada tahun 2022. Sebagian besar hutan hujan ini dihancurkan untuk memberi jalan bagi ternak dan tanaman komoditas, menurut hasil analisis data satelit terbaru.
Jumlah hilangnya hutan hujan atau hutan dengan pohon tropis dewasa yang ditebang atau dibakar setiap lima detiknya hampir sama dengan luas lapangan sepak bola. Sepanjang 2022, hutan tropis ini ditebang atau dibakar siang dan malam, angkanya 10 persen lebih banyak dari tahun sebelumnya, menurut World Resources Institute (WRI).
Hutan tropis yang dihancurkan tahun lalu melepaskan 2,7 miliar metrik ton karbon dioksida ke atmosfer. Angka ini setara dengan emisi bahan bakar fosil di India, negara terpadat di dunia, lapor unit Global Forest Watch WRI.
Brasil menyumbang 43 persen dari total hilangnya hutan tropis dunia sepanjang 2022. Adapun Republik Demokratik Kongo dan Bolivia bertanggung jawab masing-masing sekitar 13 dan sembilan persen.
Lebih dari 41.000 kilometer persegi hutan tropis hancur secara global tahun lalu. Angka ini menjadikan tahun 2022 sebagai tahun keempat yang paling merusak bagi hutan primer dalam dua dekade.
Kehilangan yang semakin cepat terjadi setahun setelah para pemimpin dunia berjanji pada KTT COP26 Glasgow pada tahun 2021. Padahal janji KTT ini adalah untuk menghentikan dan membalikkan kehilangan hutan pada tahun 2030.
“Sejak pergantian abad, kita telah melihat kerusakan pada beberapa ekosistem hutan paling penting di dunia meskipun telah dilakukan upaya selama bertahun-tahun untuk membalikkan tren tersebut,” kata Mikaela Weisse, direktur Global Forest Watch WRI, seperti dikutip dari AFP.
"Kita dengan cepat kehilangan salah satu alat kita yang paling efektif untuk memerangi perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, dan mendukung kesehatan dan penghidupan jutaan orang."
Secara global, tumbuh-tumbuhan dan tanah secara konsisten menyerap sekitar 30 persen polusi karbon dioksida sejak tahun 1960, meskipun emisi tersebut meningkat setengahnya.
Hilangnya Penyerap Emisi 90 Miliar Ton Karbon
Sekitar 1,6 miliar orang, hampir setengahnya adalah anggota kelompok masyarakat adat, bergantung langsung pada sumber daya hutan untuk makanan dan mata pencaharian mereka.
Deforestasi di Brasil melonjak selama pemerintahan empat tahun Presiden Jair Bolsonaro yang berasal dari sayap kanan. Penggundulan hutan di Brasil meningkat 15 persen sepanjang tahun 2022 dibandingkan tahun 2021.
Pemerintahan Bolsonaro memusnahkan kebijakan lingkungan, menutup mata terhadap deforestasi ilegal, dan melemahkan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang secara terbukti menjadi penjaga hutan yang sehat secara efektif.
Presiden Luiz Inacio Lula da Silva, yang dilantik pada awal tahun ini, telah berjanji untuk mengakhiri deforestasi di Amazon Brasil pada tahun 2030. Namun, jelas dia akan menghadapi banyak tantangan dalam melakukannya, kata para ahli.
Para ilmuwan khawatir bahwa kombinasi perubahan iklim dan penggundulan hutan dapat memicu percepatan transisi lembah Amazon dari hutan tropis ke sabana. Perubahan ini dapat sangat mengganggu cuaca tidak hanya di Amerika Selatan, tetapi juga di seluruh dunia.
Sekitar 90 miliar ton karbon dioksida disimpan di hutan lembah Amazon. Angka ini dua kali total emisi tahunan dunia dari semua sumber.
“Menghentikan dan memulihkan hilangnya hutan adalah salah satu opsi mitigasi yang paling hemat biaya yang tersedia bagi kita saat ini,” kata Frances Seymour, rekan senior terkemuka untuk hutan di WRI.
Tingkat kehilangan hutan primer yang tinggi juga berlanjut di Republik Demokratik Kongo (DRC). Negara itu yang mengalami kerusakan lebih dari setengah juta hektar pada tahun 2022, kata laporan WRI tersebut.
Tidak seperti di Brasil, pendorong utamanya adalah pertanian subsisten dan produksi arang skala kecil yang dibuat dengan memotong dan membakar kayu, cerminan dari kemiskinan negara tersebut.
Di Konga, lebih dari 80 persen populasinya kekurangan listrik. Perjanjian setengah miliar dolar AS yang ditandatangani oleh DRC pada tahun 2021 untuk melindungi hutannya telah dirusak oleh lelang izin eksplorasi minyak dan gas baru-baru ini.
Pemerintah juga mengindikasikan akan mencabut moratorium konsesi penebangan baru.
Bolivia, sementara itu, mengalami kehilangan hutan primer terbesar ketiga (hampir 4.000 kilometer persegi) sepanjang tahun 2022. Pada tahun lalu, terjadi peningkatan laju deforestasi sebesar 32 persen di Bolivia dibandingkan tahun 2021.
“Sebagian besar kehilangan terjadi di dalam kawasan lindung, yang mencakup tambalan terakhir hutan primer di negara ini,” kata laporan Global Forest Watch.
Produksi kakao, penambangan emas, dan kebakaran merupakan pendorong utama dari penggundulan hutan di Bolivia.
Indonesia dan Negara-Negara Lainnya
Adapun di Indonesia, data dalam laporan tersebut menunjukkan angka yang lebih mending. Meski begitu, Indonesia tetap menjadi negara terbesar keempat penyumbang hilangnya hutan tropis dunia.
Lebih dari lima persen kehilangan hutan tropis global sepanjang tahun 2022 terjadi di Indonesia (2.300 kilometer persegi), yang telah mengalami penurunan tingkat deforestasi lebih dari empat kali lipat sejak 2016. Pertambangan, perkebunan, dan kebakaran menjadi pemicu deforestasi di negeri ini.
Negara-negara lain yang melengkapi 'sepuluh besar' dalam kehilangan hutan tropis di seluruh dunia tahun lalu adalah Peru (3,9 persen), Kolombia (3,1), Laos (2,3), Kamerun (1,9), Papua Nugini (1,8) dan Malaysia (1,7).
Gabungan negara-negara lain sisanya hanya menyumbang di bawah 15 persen dari hutan yang hilang sepanjang tahun 2022.
Source | : | AFP |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR