Hal yang sama terjadi dua kali lagi dalam empat tahun. Namun yang keempat, Pertempuran Kawanakajima, dicatat dalam sejarah dan menjadi legenda.
Pertempuran Kawanakajima yang legendaris di Kekaisaran Jepang
Selama Oktober 1561, Uesugi Kenshin mengetahui bahwa Takeda Shingen sekali lagi mencoba untuk pindah ke Echigo. Shingen menghentikan serangannya terhadap Hojo Ujiyasu, daimyo lain yang sedang berjuang dengannya.
Mereka telah bertarung sebanyak tiga kali. Pertempuran ini sebagian besar bermuara pada pasukan yang bergerak ke posisi dan pertempuran kecil. Pertemuan keempat mereka adalah satu-satunya pertarungan penuh.
Uesugi mendirikan kemah di atas Saijoyama, sebuah gunung di barat daya Kastel Kaizu. Di sana Takeda menempatkan kontingen kecil di garnisun. Pasukan utamanya, 20.000 orang, terbagi menjadi dua.
Sekitar 8.000 orang bercokol di utara Chikumagawa, dekat tepi sungai. Sisanya, berniat untuk mengejutkan Uesugi Kenshin, perlahan naik ke Saijoyama dari timur.
Kenshin pun menyadari jika ia harus berjaga-jaga. Di sisi lain, ia juga memahami soal kondisi pasukan Uesugi.
Naga dari Echigo melawan Harimau Kai
Pasukan Kenshin, di tengah malam, maju menuruni lereng gunung dan menyeberangi sungai. Menjelang fajar, mereka siap untuk menyerang detasemen Takeda Shingen, yang dikerahkan dalam formasi terentang yang disebut Sayap Bangau.
Rencananya adalah pertempuran jarak dekat dan kavaleri akan bertemu dengan pasukan utama. Sementara sayap kiri dan kanan akan menyelimuti mereka setelah mereka lelah bertempur.
Tapi ini tidak terjadi. Uesugi Kenshin menggunakan strategi yang dikembangkan secara pribadi yang disebut Rolling Wheel. Prajurit akan bergerak untuk bertarung, menimbulkan korban sebanyak mungkin, lalu berbelok untuk digantikan oleh unit baru.
Dari sudut pandang musuh, formasi ini akan terlihat seperti gelombang pasukan yang tak ada habisnya. “Tentu saja, formasi itu menciptakan efek demoralisasi pada pasukan lawan,” tambah Smathers.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR