Barangkali setelahnya, tindakan Apan menyebabkan efek domino yang lebih besar lagi. Aksi protes dan kekerasan akibat penindasan dan kesewenangan yang terjadi di Tjiomas berujung pada perlawanan rakyat. Hampir sebagian besar digalang oleh fanatisme Islam.
"Para petani perjuangan menentang rezim di Tjiomas dipandang sebagai Jihad fii Sabilillah (Perang Suci)," terusnya. Meski tidak ada pesantren di Buitenzorg, tapi pengaruh Islam sejak kerajaan Padjajaran masih kuat.
19 Mei 1886, dikenal sebagai hari paling mencekam, ditemukan kekerasan di Tjiomas dalam skala besar. Momentum itu terjadi ketika De Sturler mengadakan pesta rakyat, untuk penduduk Tjiomas.
Seketika pesta berubah mencekam. Sejarah kolonial mencatat terdapat "empat puluh orang dengan kain putih diikat di kepala mereka, meneriakkan 'perang suci'. Pemimpin mereka adalah Mohammad Idris," lanjut Roland.
Empat pengunjung pesta dibunuh dengan klewang (pedang tradisional Indonesia), setelah itu para Asisten residen Coenen pergi ke lokasi pembunuhan dengan beberapa petugas kepolisian Hindia Belanda.
Tanggal 20 Mei, sehari setelah kejadian mengerikan itu, OM de Munnick, residen Batavia, berangkat dengan kereta api dari Batavia bersama satu peleton tentara KNIL beserta polisi dari Buitenzorg ke Tjiomas.
Aparat Hindia Belanda bersiap dengan salvo di tangannya, sedangkan petani tidak menyerah. Terlihat mereka menyimpan keris dan klewang di sabuk yang diikat di pinggangya.
Pembasmian pemberontak yang meresahkan Tjiomas berlarut-larut. Alhasil dilaporkan 33 tewas dan 54 luka-luka, delapan yang sekarat di antaranya kemudian tewas. Pada akhirnya semua berjumlah 41 jiwa kematian, Tjiomas banjir darah!
Bagaimanapun, narasi tentang banjir darah di Tjiomas, menyisakan satu kisah menarik dalam catatan sejarah kolonial. Terdapat petani yang memberontak dan memiliki ilmu kebal.
Meskipun telah ditembak dan dipukul, petani kebal itu tak bergeming apalagi hingga tersungkur ke tanah. De Munnick yang kewalahan menjatuhkannya, melakukan sayembara menggiurkan.
"De Munnick menawarkan ƒ10 (Gulden) kepada siapa pun yang mampu mengalahkannya," ungkapnya. Asisten Residen Coenen mencoba, namun tetap gagal.
Hingga akhir, tak diceritakan lagi apakah orang-orang Belanda itu mampu merobohkan sang 'petani kebal.' Lebih lanjut, sejarah kolonial memercayai adanya praktik magis yang berkaitan dengan ilmu kekebalan yang masih dianut pribumi di Tjiomas kala itu.
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR