Ada pula pantangan memakan daging penyu. Jika ini dilanggar, hal itu dapat mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan mereka yang pergi melaut tidak mendapatkan hasil apa-apa.
Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah. Oleh karena itu, satwa ini tidak boleh dibunuh.
Masyarakat Bajo yang berusia senja juga masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua mereka melarang anggota keluarganya menangkap ikan dan biota lainya di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu harus melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.
Kecerdasan ekologis dalam tradisi lokal (mamia kadialo) tercermin dalam larangan membuang limbah ke perairan laut yang dapat mengakibatkan pencemaran laut dan mengganggu kehidupan biota.
Membuang abu dapur, abu rokok, air cabe, air jahe ke perairan dapat mematikan ubur-ubur. Adapun air cucian wajan dan alat memasak mengandung arang dan jelaga yang dapat menyebabkan air keruh, sehingga dapat mengganggu kehidupan lamun dan 19 terumbu karang.
Pantangan dalam menjalani mamia kadialo merupakan upaya pemanfaatan sumber daya laut dalam jangka waktu tertentu. Sementara larangan bagi penduduk membunuh penyu dan mendekati gugusan terumbu karang tertentu, mengandung nilai pelestarian satwa guna mendukung eksistensi ekosistem perairan laut dan pesisir.
Ramli dalam kesimpulannya menyebut bahwa masyarakat Bajo dekat dengan sumber daya dan ekosistem mangorve, lamun dan terumbu karang. "Kondisi ekosistem ini tampak dipelihara dan dijaga dengan baik walaupun aktivitas masyarakat dan permukimannya berada di tengah ekosistem ini," tulis Ramli.
Komunitas Bajo memiliki kearifan lokal yang secara ekologis mampu mempertimbangkan kepentingan permukiman dengan konsep pelestarian ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.
"Tradisi mamia kadialo dengan pantangannya memiliki nilai pelestarian ekosistem pesisir. Penggunaan peralatan sederhana pada kegiatan penangkapan ikan dinilai dapat memberi konsekuensi ekologis yang positif bagi kelangsungan sistem ekologi beserta sumber daya hayatinya," papar Ramli.
Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju, pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut.
"Kearifan lokal dalam tradisi, perilaku dan pengetahuan lokal ini memiliki nilai-nilai ekologis dan prinsip pelestarian lingkungan pesisir sebagai bentuk kecerdasan ekologis masyarakat Bajo," simpul Ramli.
Ramli menyarakan, perlu adanya upaya untuk mendalami dan merekonstruksi kearifan lokal masyarakat pesisir suku Bajo sehingga dapat disesuaikan untuk masyarakat pesisir lainnya. Dia juga berharap, "Kearifan lokal ini menjadi bahan pemikiran yang konstruktif bagi perumusan kebijakan pengelolaan kawasan pesisir."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Universitas Negeri Gorontalo |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR