Nationalgeographic.co.id—Masyarakat pesisir suku Bajo memiliki kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Kearifan lokal ini diwariskan melalui laku hidup yang kemudian menjadi kebiasaan perilaku dan hal ini berperan penting dalam konservasi lingkungan pesisir mereka.
Ramli Utina, peneliti dari Universitas Negeri Gorontalo, pernah membuat makalah studi berjudul "Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo".
Menurut Ramli, dalam makalahnya ini, pemahaman masyarakat pesisir suku Bajo terhadap alam serta bentuk perilaku mereka akibat kedekatan mereka dengan elemen ekologis mereka telah membentuk kearifan lokal dalam masyarakat mereka.
"Nilai-nila tradisi, sikap dan perilaku berwawasan ekologis dalam tatanan hidup masyarakat lokal membentuk kecerdasan ekologis suatu masyarakat. Nilai lokal ini misalnya berlaku bagi masyarakat pesisir, ternyata cukup efektif dalam mengelola sumber daya alam serta upaya pelestarian ekosistemnya," tulis Ramli.
Penelitian Ramli ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan kecerdasan ekologis dalam nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bajo di pesisir Gorontalo. Lingkup penelitian mencakup tradisi, perilaku dan pengetahuan lokal masyarakat Bajo dalam pemeliharaan ekosistem dan pemanfaatan sumber daya alam pesisir.
Informasi yang dipakai dalam studi ini diperoleh melalui wawancara mendalam dan diskusi fokus, selain observasi aktivitas masyarakat dan kondisi ekosistem pesisirnya. Informan terdiri dari kepala desa, kemudian dipilih tokoh masyarakat, tokoh adat, dan kepala keluarga.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kecerdasan ekologis masyarakat Bajo tampak dalam tradisi melaut mamia kadialo, pengelolaan permukiman, cara memperoleh hasil tangkapan, dan pengetahuan masyarakat tentang gejala alam laut dan pesisir.
Tradisi mamia kadialo dalam masyarakat pesisir suku Bajo ini adalah berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut dalam jangka waktu tertentu serta sarana/perahu yang digunakan. Ada 3 kelompok tradisi ini yaitu; palilibu, bapongka, dan sasakai.
Palilibu, adalah kebiasaan melaut yang menggunakan perahu jenis soppe yang digerakkan dengan dayung. Kegiatan melaut ini hanya dalam satu atau dua hari.
Adapun bapongka, atau disebut juga babangi, adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan dengan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4 x 2 meter yang disebut Leppa atau Sopek. Sementara sasakai adalah kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu untuk melaut selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antarpulau.
Selain itu, ada juga larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut. Air cucian maupun bahan-bahan tersebut hendaknya ditampung kemudian dibuang di daratan.
Ada pula pantangan memakan daging penyu. Jika ini dilanggar, hal itu dapat mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan mereka yang pergi melaut tidak mendapatkan hasil apa-apa.
Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah. Oleh karena itu, satwa ini tidak boleh dibunuh.
Masyarakat Bajo yang berusia senja juga masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua mereka melarang anggota keluarganya menangkap ikan dan biota lainya di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu harus melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.
Kecerdasan ekologis dalam tradisi lokal (mamia kadialo) tercermin dalam larangan membuang limbah ke perairan laut yang dapat mengakibatkan pencemaran laut dan mengganggu kehidupan biota.
Membuang abu dapur, abu rokok, air cabe, air jahe ke perairan dapat mematikan ubur-ubur. Adapun air cucian wajan dan alat memasak mengandung arang dan jelaga yang dapat menyebabkan air keruh, sehingga dapat mengganggu kehidupan lamun dan 19 terumbu karang.
Pantangan dalam menjalani mamia kadialo merupakan upaya pemanfaatan sumber daya laut dalam jangka waktu tertentu. Sementara larangan bagi penduduk membunuh penyu dan mendekati gugusan terumbu karang tertentu, mengandung nilai pelestarian satwa guna mendukung eksistensi ekosistem perairan laut dan pesisir.
Ramli dalam kesimpulannya menyebut bahwa masyarakat Bajo dekat dengan sumber daya dan ekosistem mangorve, lamun dan terumbu karang. "Kondisi ekosistem ini tampak dipelihara dan dijaga dengan baik walaupun aktivitas masyarakat dan permukimannya berada di tengah ekosistem ini," tulis Ramli.
Komunitas Bajo memiliki kearifan lokal yang secara ekologis mampu mempertimbangkan kepentingan permukiman dengan konsep pelestarian ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.
"Tradisi mamia kadialo dengan pantangannya memiliki nilai pelestarian ekosistem pesisir. Penggunaan peralatan sederhana pada kegiatan penangkapan ikan dinilai dapat memberi konsekuensi ekologis yang positif bagi kelangsungan sistem ekologi beserta sumber daya hayatinya," papar Ramli.
Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju, pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut.
"Kearifan lokal dalam tradisi, perilaku dan pengetahuan lokal ini memiliki nilai-nilai ekologis dan prinsip pelestarian lingkungan pesisir sebagai bentuk kecerdasan ekologis masyarakat Bajo," simpul Ramli.
Ramli menyarakan, perlu adanya upaya untuk mendalami dan merekonstruksi kearifan lokal masyarakat pesisir suku Bajo sehingga dapat disesuaikan untuk masyarakat pesisir lainnya. Dia juga berharap, "Kearifan lokal ini menjadi bahan pemikiran yang konstruktif bagi perumusan kebijakan pengelolaan kawasan pesisir."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Universitas Negeri Gorontalo |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR