Praktik ini sangat kontras dengan kebiasaan di Tiongkok atau Korea. Di dua kebudayaan itu, wanita yang ditinggal mati suami atau bahkan calon suami biasanya menolak untuk menikah lagi.
Ketika seorang pria samurai menikah, istri dan ibunya mungkin bukan satu-satunya wanita di rumah tangganya. Selain itu akan ada pelayan. Di banyak rumah tangga, garis antara pelayan dan selir berfluktuasi.
Seorang pelayan yang melahirkan anak majikan bisa dijadikan selir untuk dipertahankan. Selain itu, ia juga mungkin dikirim pulang untuk menikah dengan orang lain ketika masa kerjanya habis.
Selama periode modern awal di Kekaisaran Jepang, sebagian besar rumah tangga samurai mempraktikkan suksesi oleh putra sulung. Bagaimana jika selir melahirkan anak laki-laki pertama di keluarga samurai lalu istri sah melahirkan seorang putra belakangan? Bila itu terjadi, anak laki-laki dari istri sah akan menjadi yang pertama dalam garis keturunan ayahnya.
Keluarga samurai yang tidak memiliki keturunan
Cukup sering pasangan samurai berakhir tanpa anak laki-laki. Samurai biasanya tidak membiarkan garis keluarga mati, tanpa ada yang merawat kuburan leluhur atau melakukan upacara peringatan.
Biasanya, keluarga samurai akan mempertimbangkan adopsi. Jika ada anak perempuan, maka menantu laki-laki akan diadopsi untuk menikahinya.
Seperti halnya pernikahan, adopsi samurai harus disetujui oleh otoritas domain dan kedua pasangan harus berasal dari keturunan samurai. Istri memainkan peran penting dalam menemukan anak angkat yang cocok.
“Ia menjelajahi keluarga kerabat mereka serta bernegosiasi dengan perantara,” ungkap Walthall.
Perjuangan seorang istri dan wanita di keluarga samurai Kekaisaran Jepang
Bagaimana jika perang meletus? Apa yang dilakukan seorang istri samurai? Saat itu, istri samurai memiliki beberapa pilihan. Mereka bisa melarikan diri bersama anak-anak mereka ke domain terdekat atau bersembunyi di gunung.
Sebagian bisa pergi ke kastel bersama kaum laki-laki untuk menahan pengepungan dari sana. Bahkan ada yang bertarung untuk mempertahankan domain di luar kastel. Tidak sedikit yang bunuh diri untuk menjaga kehormatan.
Mencari perlindungan di kastel sama sekali bukan pilihan yang mudah. Saat kastel dikepung, setiap butir beras bisa menjadi sangat berharga. Istri samurai yang turut melindungi kastel pun menunjukkan tekadnya untuk mati bersama pejuang lainnya.
Tidak hanya duduk berpangku tangan, mereka membuat selongsong peluru, memasak, merawat yang terluka, dan mencoba memadamkan bola meriam. Sejumlah istri samurai dan wanita lain kerap tewas akibat bahan peledak atau tembakan musuh.
Para istri samurai yang berjuang melihat domain sebagai perpanjangan dari rumah tangga. Terikat tugas untuk mempertahankan keluarga, mereka pun terikat tugas untuk mempertahankan domain.
Setelah menikah, seorang istri samurai Kekaisaran Jepang menunjukkan baktinya pada keluarga dengan berbagai cara. Mulai dari merawat orang tua sang suami hingga turut mempertahankan domainnya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR