Nationalgeographic.co.id—Seorang pria dari kelas samurai juga bisa memiliki pasangan dan membangun rumah tangga. Ketika wanita menjadi istri samurai di Kekaisaran Jepang, ia diharapkan untuk berbakti dan menjaga kehormatan keluarga. Bagaimana caranya?
Perintah berbakti bagi seorang istri samurai Kekaisaran Jepang
Semua wanita di Kekaisaran Jepang diharapkan untuk mematuhi perintah berbakti, tetapi ini memiliki arti khusus bagi seorang istri samurai.
Dalam rumah tangga samurai, sang suami mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun jauh dari rumah untuk menemani tuannya. Misalnya ketika sang tuan melakukan perjalanan rutin ke Edo. Setiap daimyo diharuskan menghabiskan separuh waktunya di Edo untuk melayani shogun. Separuh sisanya dihabiskan di wilayahnya untuk mengawasi administrasi.
Sang istri tetap tinggal di wilayah itu untuk membesarkan anak yang dimiliki pasangan itu. Ia juga merawat ibu dan ayah mertuanya. Bagi istri samurai, berbakti juga berarti merawat orang tua sang suami.
Sebagai perpanjangan dari bakti, istri samurai juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan ritual kepada leluhur suaminya.
Di kastel shogun di Edo, altar Buddha yang berisi papan leluhur terletak di ruangan di sebelah kamar istri shogun. “Hal ini berarti altar tersebut menjadi tanggung jawab sang istri,” tulis Anne Watlhall di laman Engelsberg Ideas. Setiap pagi sang shogun dan istrinya berdoa bersama di hadapannya.
Para istri samurai melakukan ritual serupa dalam skala yang lebih kecil di rumah tangga samurai biasa. Karena hanya istri yang memiliki wewenang untuk melakukan ritual ini, tanggung jawab itu menekankan posisinya di atas para selir.
Istri samurai Kekaisaran Jepang bertanggung jawab atas rumah tangga
Istri samurai juga bertanggung jawab atas rumah tangga dan berhak berbicara atas nama suaminya ketika suaminya tidak ada. Bahkan seorang janda samurai berhak berbicara atas nama pasangannya yang telah meninggal.
Dalam rumah tangga samurai biasa, wanita mungkin memainkan peran utama dalam mendapatkan persetujuan untuk ahli waris samurai.
Seorang wanita tidak boleh memiliki lebih dari dua. Namun, istri samurai boleh bercerai dan kemudian menikah lagi. Atau, ia menikah setelah suaminya meninggal.
Praktik ini sangat kontras dengan kebiasaan di Tiongkok atau Korea. Di dua kebudayaan itu, wanita yang ditinggal mati suami atau bahkan calon suami biasanya menolak untuk menikah lagi.
Ketika seorang pria samurai menikah, istri dan ibunya mungkin bukan satu-satunya wanita di rumah tangganya. Selain itu akan ada pelayan. Di banyak rumah tangga, garis antara pelayan dan selir berfluktuasi.
Seorang pelayan yang melahirkan anak majikan bisa dijadikan selir untuk dipertahankan. Selain itu, ia juga mungkin dikirim pulang untuk menikah dengan orang lain ketika masa kerjanya habis.
Selama periode modern awal di Kekaisaran Jepang, sebagian besar rumah tangga samurai mempraktikkan suksesi oleh putra sulung. Bagaimana jika selir melahirkan anak laki-laki pertama di keluarga samurai lalu istri sah melahirkan seorang putra belakangan? Bila itu terjadi, anak laki-laki dari istri sah akan menjadi yang pertama dalam garis keturunan ayahnya.
Keluarga samurai yang tidak memiliki keturunan
Cukup sering pasangan samurai berakhir tanpa anak laki-laki. Samurai biasanya tidak membiarkan garis keluarga mati, tanpa ada yang merawat kuburan leluhur atau melakukan upacara peringatan.
Biasanya, keluarga samurai akan mempertimbangkan adopsi. Jika ada anak perempuan, maka menantu laki-laki akan diadopsi untuk menikahinya.
Seperti halnya pernikahan, adopsi samurai harus disetujui oleh otoritas domain dan kedua pasangan harus berasal dari keturunan samurai. Istri memainkan peran penting dalam menemukan anak angkat yang cocok.
“Ia menjelajahi keluarga kerabat mereka serta bernegosiasi dengan perantara,” ungkap Walthall.
Perjuangan seorang istri dan wanita di keluarga samurai Kekaisaran Jepang
Bagaimana jika perang meletus? Apa yang dilakukan seorang istri samurai? Saat itu, istri samurai memiliki beberapa pilihan. Mereka bisa melarikan diri bersama anak-anak mereka ke domain terdekat atau bersembunyi di gunung.
Sebagian bisa pergi ke kastel bersama kaum laki-laki untuk menahan pengepungan dari sana. Bahkan ada yang bertarung untuk mempertahankan domain di luar kastel. Tidak sedikit yang bunuh diri untuk menjaga kehormatan.
Mencari perlindungan di kastel sama sekali bukan pilihan yang mudah. Saat kastel dikepung, setiap butir beras bisa menjadi sangat berharga. Istri samurai yang turut melindungi kastel pun menunjukkan tekadnya untuk mati bersama pejuang lainnya.
Tidak hanya duduk berpangku tangan, mereka membuat selongsong peluru, memasak, merawat yang terluka, dan mencoba memadamkan bola meriam. Sejumlah istri samurai dan wanita lain kerap tewas akibat bahan peledak atau tembakan musuh.
Para istri samurai yang berjuang melihat domain sebagai perpanjangan dari rumah tangga. Terikat tugas untuk mempertahankan keluarga, mereka pun terikat tugas untuk mempertahankan domain.
Setelah menikah, seorang istri samurai Kekaisaran Jepang menunjukkan baktinya pada keluarga dengan berbagai cara. Mulai dari merawat orang tua sang suami hingga turut mempertahankan domainnya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR