Nationalgeographic.co.id—Pada September 1218, Dinasty Ayyubiyah menawarkan wilayah Palestina (termasuk tanah suci Yerusalem) kepada Pasukan Salib. Tawaran tersebut merupakan syarat yang luar biasa untuk mencapai gencatan senjata.
Wilayah Palestina, termasuk tanah suci Yerusalem di dalamnya, jelas persyaratan yang luar biasa dalam sejarah Perang Salib Kelima.
Sepertinya al-Kamil, pemimpin Dinasti Ayyubiyah, lebih tertarik pada kerajaannya yang luas, terutama tanah Mesir dan Suriah yang jauh lebih kaya.
Namun demikian, di luar dugaan ternyata Pasukan Salib menolak tawaran tersebut. Hal ini jelas sesuatu yang sulit dipercaya dalam sejarah Perang Salib Kelima, mengingat bahwa tujuan utama Pasukan Salib adalah merebut Tanah Suci Yerusalem.
Beberapa pihak memang ingin menerima tawaran tersebut, tapi mayoritas menolak. Pihak yang paling depan menolak tawaran tersebut adalah Ksatria Templar, Ksatria Hospitaller, VEnesia dan para pemimpin agama Kristen Katolik.
Para penentang khawatir, meski mereka mendapatkan wilayah Palestina termasuk Yerusalem di dalamnya, pertahanan mereka tidak akan bertahan.
Menurut mereka, pertahanan Peradaban Islam harus diruntuhkan terlebih dahulu, sebelum mereka mengambil alih Yerusalem dan Palestina.
Pilihan Pasukan Salib sepertinya tepat untuk sesaat. Pada November 1219 M, Pasukan Salib melanjutkan menyerang Damietta. Setelah menerobos reruntuhan menara, pertahanan kota yang kini tinggal sedikit, berhasil ditembus.
Pawai ke Kairo dan Kekalahan Pasukan Salib
Meski sepertinya pilihan tepat, Damietta akan menjadi satu-satunya keberhasilan penyerbuan Pasukan Salib.
Dinasti Ayyubiyah dengan cepat mengambil keuntungan dari keragu-raguan Pasukan Salib tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Sultan al-Kamil segera mengambil tindakan pencegahan.
Ia memindahkan pasukannya 40 km (25 mil) ke selatan, masih di dekat Sungai Nil. Sementara itu, Pasukan Salib memperdebatkan siapa yang harus mengontrol hadiah baru mereka.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR