Nationalgeographic.co.id—Sakamoto Ryoma adalah salah satu tokoh sejarah favorit di Kekaisaran Jepang. Sebagai seorang samurai, ia menjadi penggerak utama dalam upaya menggulingkan keshogunan. Ironisnya, Ryoma tewas dibunuh di usia 31 tahun. Ia tidak hidup untuk melihat buah dari usahanya untuk memodernisasi Kekaisaran Jepang.
Kisah Sakamoto Ryoma menarik untuk disimak. Bagaimana seorang samurai berpangkat rendah bisa merangkak ke posisi tinggi yang berpengaruh.
Kisah hidup Sakamoto Ryoma yang memikat bangsa Jepang
Kehidupan pendek dan dramatis Sakamoto Ryoma (1836–1867) terus memikat hati dan imajinasi orang Jepang. Ini dibuktikan dari survei tahun 2008 terhadap tokoh-tokoh sejarah populer yang dilakukan oleh NHK Broadcasting Culture Research Institute. Samurai muda itu menempati peringkat ketiga, tepat di belakang pemimpin militer Oda Nobunaga dan Tokugawa Ieyasu.
Ryoma sering bekerja di belakang layar. Mimpinya tentang Kekaisaran Jepang yang modern menempatkannya di pusat gerakan untuk menggulingkan keshogunan.
“Keshogunan itu dibentuk oleh Tokugawa Ieyasu lebih dari 250 tahun sebelumnya,” tulis Inoue Yusuke di laman Nippon.com.
Anak samurai desa di Kekaisaran Jepang
Ryoma lahir pada tanggal 3 Januari 1836. Ia adalah putra kedua dari seorang goshi berpangkat rendah atau samurai desa di provinsi terpencil Tosa di Pulau Shikoku. Keluarganya adalah kerabat dari klan Saitani kaya yang mengendalikan kekayaan dagang dari pembuatan bir dan kain.
Ryoma mulai belajar ilmu pedang pada usia 14 tahun di bawah asuhan Hineno Benji, seorang samurai lokal. Pada musim semi tahun 1853, dia berangkat ke kota Edo untuk mengasah keterampilannya lebih lanjut.
Di Edo, dia berlatih di bawah bimbingan pendekar pedang Chiba Sadakichi di sekolah disiplin Hokushin-itto. Saat itu adalah tahun yang penting ketika Komodor Matthew Perry menuntut agar Kekaisaran Jepang dibuka untuk orang asing.
Pada tahun 1854, Ryoma kembali ke Tosa. Namun, prospek studi lebih lanjut memikatnya kembali ke Edo pada tahun 1856. Dia telah ditunjuk sebagai kepala Chiba Dojo dan diinisiasi ke dalam semua ajaran sekolah.
“Hormati kaisar, usir orang barbar!”
Sentimen anti-shogun meningkat di seluruh Kekaisaran Jepang. Pada tahun 1861, goshi Takechi Zuizan mendirikan sebuah organisasi loyalis kekaisaran di Tosa yang didedikasikan untuk prinsip-prinsip sonno joi (hormati kaisar, usir orang barbar).
Tujuan pendirian organisasi itu adalah untuk menggulingkan keshogunan yang tidak efektif. Lalu menggantinya dengan kekaisaran yang kuat di bawah pemerintahan kekaisaran.
Ryoma berada di Tosa pada saat itu dan bergabung dengan gerakan tersebut pada awalnya, tetapi keluar pada tahun berikutnya.
Sekali lagi di Edo, Ryoma melakukan kontak dengan Takasugi Shinsaku dan para pemimpin lain dari domain Choshu. “Chosu merupakan sarang loyalis kekaisaran,” tambah Yusuke.
Upaya Sakamoto Ryoma untuk memodernisasi Kekaisaran Jepang
Ryoma berencana untuk membunuh Katsu Kaishu, seorang pejabat tinggi keshogunan, tetapi akhirnya bekerja untuknya setelah keduanya bertemu.
Katsu memengaruhi Ryoma untuk melihat pentingnya Kekaisaran Jepang belajar dari negara lain. Hal tersebut lebih bermanfaat, daripada hanya mengambil sikap bermusuhan dan garis keras.
Menyadari bakat pemuda itu, Katsu membujuk Ryoma untuk menggunakan kemampuannya guna membantu membangun angkatan laut Kekaisaran Jepang.
Pada tahun 1863, Katsu mendapat izin dari keshogunan untuk mendirikan Pusat Pelatihan Angkatan Laut Kobe. Ia menjadikan Ryoma sebagai kepala akademi untuk mengajar perwira muda.
Belakangan tahun itu, domain Choshu menentang keshogunan dengan membombardir kapal asing di lepas pantai Shimonoseki. Setelah mendengar bahwa kapal yang rusak diperbaiki di Edo sebelum kembali untuk membalas Choshu, Ryoma merasa kekaisaran mendekati titik krisis.
“Saya ingin membersihkan Kekaisaran Jepang,” tulisnya dalam sebuah surat kepada saudara perempuannya Otome.
Keshogunan yang semakin terkepung menjadi curiga terhadap semangat independen Katsu. Maka, pada tahun 1864 posisinya sebagai komisaris kapal perang dicopot. Keshogunan memanggilnya kembali ke Edo. Tahun berikutnya ia menutup Pusat Pelatihan Angkatan Laut Kobe.
Bekerja sama untuk menghancurkan keshogunan
Pencapaian terbesar Ryoma adalah menjadi perantara aliansi antara dua domain kuat Satsuma dan Choshu pada tahun 1866.
Awalnya mereka berselisih. Sikap anti-shogun radikal Choshu kontras dengan keinginan Satsuma untuk persatuan nasional melalui aliansi antara domain shogun.
Namun, keshogunan menjadi lebih diktator. Karena itu, para pemimpin Satsuma Okubo Toshimichi dan Saigo Takamori mengubah sikap mereka ke arah oposisi. Pada tahun 1865, keshogunan memerintahkan domain untuk mendukung pasukannya dalam ekspedisi melawan Choshu.
Ketika itu Satsuma menolak untuk mematuhinya. Ryoma menyampaikan keputusan tersebut kepada para pemimpin Choshu, menciptakan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk bergandengan tangan.
Dengan hadirnya Ryoma, kedua domain mengadakan aliansi formal pada tahun 1866. Keduanya setuju untuk menyatukan bangsa bahkan jika itu berarti konfrontasi langsung dengan keshogunan. Pembentukan aliansi sangat meningkatkan ancaman eksistensial yang dihadapi shogun.
Choshu samurai Kido Takayoshi menyusun poin-poin utama dari perjanjian lisan rahasia menjadi enam klausul. Perjanjian itu dikirimnya dalam sebuah surat kepada Ryoma untuk penegasan. Setelah menerima pesan tersebut, Ryoma menulis di sisi sebaliknya bahwa dia sepenuhnya setuju.
Sebuah rencana untuk Kekaisaran Jepang Modern
Di samping kegiatan politiknya, Ryoma melanjutkan pekerjaan angkatan lautnya dan mencoba berdagang. Pada tahun 1865, ia mendirikan perusahaan perintis Kameyama Shachu di Nagasaki.
Perusahaan komersilnya mendukung aliansi tersebut dengan, misalnya, membeli senjata dan kapal atas nama Satsuma untuk disuplai ke Choshu.
Pada tahun 1866, keshogunan mengirimkan ekspedisi hukumannya ke Choshu. Anggota kompi Kameyama berada di atas kapal perang Union dan mengambil bagian dalam pertempuran Shimonoseki. Pertempuran itu adalah satu-satunya pengalaman pertempuran militer Ryoma.
Pencapaian Ryoma lainnya adalah delapan poin rencananya untuk memodernisasi Kekaisaran Jepang. Salah satunya adalah meminta keshogunan untuk menyerahkan kembali kekuasaan kepada kaisar dan pembentukan majelis nasional. Dia mempresentasikan rencana tersebut kepada pemimpin Tosa Goto Shojiro selama perjalanan laut tahun 1867.
Terkesan, Goto menggunakan pengaruhnya untuk merumuskan petisi dari Tosa kepada Shogun Tokugawa Yoshinobu. Ia mendesaknya untuk mengembalikan kekuasaan kepada kaisar.
Saat itu, keshogunan sudah sangat lemah dan Yoshinobu mengundurkan diri pada tanggal 9 November 1867. Rencana delapan poin Ryoma kemudian memengaruhi prinsip-prinsip modernisasi di era Meiji.
Pembunuh tak dikenal
1 bulan setelah pemulihan kekuasaan kekaisaran, Ryoma dibunuh saat berada di toko kecap di Kyoto. Saat itu tanggal 10 Desember 1867. Dia baru berusia 31 tahun. Ada banyak teori tentang siapa yang memerintahkan dan melakukan perbuatan itu.
“Mimawarigumi, pasukan polisi yang masih setia kepada keshogunan, dianggap paling mungkin melakukan pembunuhan itu,” ujar Yusuke.
Tak lama setelah insiden tersebut, tentara kekaisaran yang baru bentrok dengan pendukung bekas keshogunan pada Pertempuran Toba–Fushimi. Hal ini memicu Perang Boshin, yang berakhir dengan kemenangan kekaisaran pada tahun 1869. Selanjutnya, pemerintah Meiji mulai membangun Kekaisaran Jepang yang baru.
Setelah kematiannya, popularitas Ryoma terus tumbuh, sebagian disebabkan oleh korespondensi ekstensif yang dia tinggalkan. Ia dengan tegas mengungkapkan pandangan radikal tentang dunia dan negara. Selain itu, surat-suratnya juga diisi dengan kepentingan di luar politik dan terkadang menyertakan ilustrasi deskriptif.
Pencapaian politik dan ekonomi Ryoma menjadi inspirasi bagi banyak buku, film, dan drama televisi.
Pengunjung Kyoto juga dapat menemukan berbagai tempat yang terhubung dengan Ryoma di sekitar kota. Turis juga dapat mengunjungi makamnya di Kuil Ryozen Gokoku.
Berawal dari seorang samurai berpangkat rendah, ia menjadi samurai yang dikenang sebagai pelopor Kekaisaran Jepang modern.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR