Nationalgeographic.co.id—Maya, sebuah peradaban kesohor, pernah membentang di wilayah yang luas di Mesoamerika, di wilayah yang sekarang menjadi Meksiko selatan dan Amerika Tengah.
Wilayah ini merupakan rumah bagi kota-kota yang berkembang dan ribuan orang. Tetapi selama dua abad, kota-kota besar dikosongkan, kuil-kuil megahnya ditinggalkan dan karya-karya seni yang hidup tak terselesaikan.
Sama seperti akhir kisahnya, awal mula budaya Maya sulit untuk ditentukan. Banyak ahli percaya bahwa budaya ini pertama kali muncul antara tahun 7000 SM dan 2000 SM setelah para pemburu-pengumpul dari Amerika Selatan pindah ke Mesoamerika dan menetap di sana.
Sekitar tahun 4000 SM, penanaman jagung meledak, sehingga memungkinkan budaya Maya berkembang dan meluas.
Ana Garcia Barrios, seorang profesor Sejarah Amerika, menjelaskan bahwa interaksi dengan peradaban Olmec yang bertetangga diyakini telah memacu kemajuan dalam arsitektur Maya.
Pertemuan ini, menurut Ana, “menghasilkan pembangunan kompleks ritual besar yang dikelilingi oleh kota-kota .Di antara pusat-pusat kota yang paling penting adalah Uxmal, Palenque, Chichén Itzá, Tikal, Copán, dan Calakmul.”
Perebutan kekuasaan
“Para ahli telah menetapkan bahwa suku Maya tidak memerintah sebagai sebuah kekaisaran yang bersatu,” terang Ana. “Sebaliknya, ini adalah sebuah masyarakat kolektif.”
Perebutan kekuasaan memang terjadi, namun hal itu diperjuangkan oleh kota-kota yang bersaing, ajaw–sebuah gelar di peradaban Maya–atau penguasa lokal yang saling bersaing.
Cancun (di Meksiko modern) adalah salah satu daerah Maya yang makmur. Kota ini menempati posisi strategis di jalur perdagangan wilayah tersebut dan secara politis terhubung dengan kota Maya yang kuat, Calakmul.
Anna menjelaskan, Banyak prasasti telah ditemukan di monumen-monumen, tetapi tidak ada yang berasal dari setelah tahun 800.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, kota ini mengalami serangan hebat. Keluarga kerajaan dan anggota bangsawan lainnya dibunuh.
Mayat mereka dibuang, lengkap dengan lambang kekuasaan dan perhiasan batu giok, ke dalam tiga tempat pemakaman darurat.
“Di ruang pemakaman terbesar, para arkeolog menemukan 38 mayat dengan tanda-tanda trauma brutal,” jelas Ana.
Kekerasan semacam itu bukanlah hal yang mengejutkan di wilayah tersebut, namun menurut Ana, “insiden ini menonjol sebagai bagian dari pola yang lebih besar.”
Pada dekade pertama abad kesembilan, adalah mimpi buruk untuk bagi Maya, krisis politik dan sosial melanda hampir semua kota.
Pada akhir periode Klasik, para pemahat Maya berhenti mengukir monumen, para juru tulis berhenti mencatat perbuatan para penguasa, dan para pekerja menghentikan pembangunan istana dan kuil. Kota-kota ditinggalkan. Hal ini kemudian dikenal sebagai gerbang keruntuhan Maya.
Ana menjelaskan,keruntuhan berlangsung selama lebih dari seratus tahun. “Keruntuhan ini dimulai di wilayah yang dikenal sebagai Petexbatun dan melintasi daratan di dekat Sungai Usumacinta.”
Ketika kota-kota jatuh seperti kartu domino, hutan mulai mencakar tanah dari peradaban Maya. Akar dan sulur tanaman meliuk-liuk melewati istana, kuil, dan alun-alun.
Mencari petunjuk
Tersembunyi di dalam hutan, sisa-sisa arsitektur Maya memberikan wawasan yang menarik tentang kecepatan keruntuhannya. Ana menjelaskan, salah satu bangunan terakhir yang didirikan di kota Bonampak, di wilayah Sungai Usumacinta.
Bangunan tersebut menampilkan mural dengan menampilan pertempuran yang dimenangkan oleh ajaw pada tahun 791, serta upacara kerajaan yang spektakuler.
“Namun, karya seni ini belum selesai. Sketsa yang belum selesai terlihat di dinding, seolah-olah para seniman telah meletakkan peralatan mereka dan pergi di tengah-tengah pekerjaan mereka,” jelas Ana.
Contoh yang sama dramatisnya ditemukan di Yaxchilan, sebuah kota yang dekat dengan Bonampak. Pada tahun 800, raja mendirikan sebuah bangunan megah dan menghiasinya dengan pahatan.
Pintu-pintu, prasasti, dan tangga bangunan itu diukir dengan rumit dengan adegan dan teks-teks kerajaan. Hanya delapan tahun kemudian, pekerjaan itu akan ditinggalkan. Teks terakhir yang ditemukan di situs ini ditulis pada tahun 808.
Pada awal abad kesembilan, para pembangun mulai mengerjakan sebuah kuil megah di kota Aguateca (di Guatemala modern). Namun pada tahun 810, pembangunan berhenti tiba-tiba, meninggalkan kuil yang masih setengah jadi.
Stelae yang telah dihaluskan dan siap untuk diukir tidak tergarap. Ada bukti yang menunjukkan bahwa pagar dan benteng pertahanan dibangun, yang menunjukkan bahwa masyarakat Aguateca merasakan adanya ancaman dari luar.
Keruntuhan peradaban Maya telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para ahli. Mereka telah mengembangkan teori-teori menarik untuk memecahkan misteri keruntuhan tersebut.
“Banyak yang setuju bahwa tidak ada penyebab tunggal, melainkan kombinasi kompleks dari berbagai faktor yang menyebabkan keruntuhan masyarakat Maya,” jelas Ana.
Tekanan dan ketegangan
Ada banyak hipotesis keruntuhan, dan sebagian besar mengacu pada beberapa faktor umum. Salah satunya adalah bahwa kelebihan populasi di kota-kota Maya membantu memicu krisis ini dengan membebani sumber daya lokal secara berlebihan.
Pada awal abad kesembilan, peradaban Maya mencapai puncak kurva demografinya. Tikal, di Guatemala saat ini, merupakan kota terpadat di antara semua kota Maya dan telah berkembang menjadi sekitar 50.000 penduduk.
“Beberapa ahli percaya bahwa pertanian lokal, bahkan jika diperluas, akan kesulitan untuk mendukung populasi,” jelas Ana.
Salah satu dugaan kuat adalah kekeringan yang menyebabkan keruntuhan. Studi terbaru menunjukkan bahwa sekitar abad ke-9, kekurangan air berkepanjangan terjadi di beberapa wilayah dataran rendah Maya.
Hal ini yang menyebabkan kehilangan panen dan kelaparan lokal. Kekurangan makanan menantang kendali para pemimpin Maya atas wilayah tersebut.
“Mungkin orang-orang melarikan diri untuk mencari tanah yang lebih subur, atau mungkin mereka memberontak terhadap para ajaw mereka,” terang Ana.
Faktor lain yang tidak diragukan lagi berkontribusi pada keruntuhan Maya adalah konflik bersenjata yang berasal dari perebutan kekuasaan.
Pertempuran menyumbat jalan dan rute perdagangan, sehingga barang-barang tersendat. Hal ini menyebabkan kelangkaan, keruntuhan ekonomi, dan migrasi penduduk secara massal.
Pada abad kesembilan, Ana menjelaskan, “terjadi peningkatan jumlah teks yang menyinggung peperangan antar kota. Berbagai panel berukir menunjukkan para jenderal yang menahan musuh. Nama-nama para penguasa yang dikalahkan ini diukir di kaki dan jubah mereka.”
Kerusuhan politik
Kota Uxmal, selama abad ke-10 telah menjadi pusat kekuasaan utama di wilayah Puuc. Namun kemudian Uxmal mengalami kemunduran yang dramatis pada abad ke-11.
Penyebab langsung dari krisis ini tampaknya adalah perluasan kota tetangga, Chichen Itza. Secara paralel, wilayah timur Puuc menjadi semakin sepi penduduk hingga akhirnya ditinggalkan sama sekali pada awal abad ke-11.
Menurut Ana, Kemunduran Uxamal atau kota-kota Maya di wilayah utara Semenanjung Yucatan, "tampaknya mencerminkan keruntuhan yang pertama."
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR