Representasi kisah ini merujuk pada ritual nyalamaq dilauq dalam menjaga kelestarian ekosistem bawah laut. Perwujudan karang sebagai jelmaan Punggawa Rattung, membuat masyarakat pesisir Bajo berupaya mewarisi kelestarian laut dan ekosistemnya.
Pada versi ketiga, Habibuddin dan tim risetnya menyebut bahwa peyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq berkaitan dengan Pelabuhan Pijot terletak di sebuah teluk yang ramai didatangi pedagang dari berbagai negeri.
Pelabuhan Pijot masa itu dalam catatan sejarah lokal Lombok telah disebutkan sejak abad ke-14 dan menjadi pusat perdagangan dan penghubung Pulau Lombok dengan pulau-pulau lainnya di wilayah Nusantara bagian timur.
Pelabuhan Pijot juga menjadi tempat singgah (transaksi) kapal-kapal besar yang berlayar dari wilayah timur, seperti Makassar, Sumba, Ende, Bima, Sumbawa, dan pulau-pulau kecil lainnya, sedangkan dari wilayah barat seperti Batavia, Surabaya, Madura, dan Bali.
Kapal-kapal tersebut tidak dapat bersandar, karena teluk Pijot dangkal dan sempit, maka pengawasan arus keluar masuk barang, pemerintah kolonial Belanda tahun 1880 mendirikan douane (bea cukai) di Tanjung Luar.
Douane ini disebut oleh warga masyarakat Tanjung Luar dengan bale boom, dan dalam perkembangannya disebut palabuang. Peresmian berdirinya douane atau palabuang ini dilakukan dengan selamatan pelabuhan.
Dari peresmian pelabuhan ini, kemudian dikenal oleh masyarakat pesisir Tanjung Luar dengan nama nyalamaq palabuang atau nyalamaq dilauq, dan sejak itu ritual ini menjadi sakral dilakukan oleh masyarakat pesisir di Lombok Timur.
Mulai sejak saat itu, nyalamaq palabuang atau nyalamaq dilauq sekaligus menjadi rasa syukur masyarakat pesisir, utamanya para remaja di Lombok Timur untuk menjaga laut mereka.
Biasanya, puncak pelaksanaan ritual nyalamaq dilauq dilakukan dengan melarung kepala kerbau yang telah diletakkan pada rakit dikki (rakit kecil) tepat di atas gugusan terumbu karang cincing yang terletak ±150 meter dari dermaga perikanan ke arah tenggara.
Seusai pelarungan kepala kerbau tersebut, peserta ritual nyalamaq dilauq, seperti peserta karnaval laut, penonton, dan tamu undangan yang berada di pinggir pantai melakukan siram-siraman dengan air laut.
Proses konservasi lingkungan dilakukan dengan acara menutup laut dari segala aktivitas melaut dan aktivitas lainnya di kawasan pesisir selama tiga hari. Selama tiga hari, semua nelayan termasuk nelayan desa atau desa tetangga tidak diperkenankan melaut.
Selama tiga hari, seluruh aktivitas di kawasan pesisir tidak perkenankan, perahu ditambatkan, wisatawan tidak boleh masuk kawasan pantai Tanjung Luar dan sekitarnya, dan pasar ikan tutup sementara waktu.
Ritual nyalamaq dilauq bukan hanya sekedar upacara, namun untuk mengingatkan masyarakat pesisir tentang dampak pencemaran lingkungan pesisir. Lingkungan pesisir, seperti air, oksigen, cahaya matahari, garam, pasir, batu, dan lain-lain.
Nilai-nilai edukasi ini tergambar dari prosesi ritual ngalamaq dilauq sebagai bentuk kepedulian masyarakat pesisir terhadap lingkungannya. Tak heran, notabene peserta ritual ini adalah generasi milenial dan remaja sebagai pelestari laut di masa mendatang.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Geodika: Jurnal Kajian Ilmu dan Pendidikan Geografi |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR