Nationalgeographic.co.id—Sejumlah remaja alias generasi milenial, mulai berduyun ke pesisir laut. Ritual pelarungan kepala kerbau menjadi ritual sakral yang unik bagi masyarakat pesisir Bajo di Lombok Timur, yang di mana target utamanya ramaja.
Kebudayaan masyarakat pesisir Suku Bajo ini berlokasi di Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Ritual nun unik ini dinamakan ritual nyalamaq dilauq. Ritual yang sudah mengakar lama bagi masyarakat pesisir Bajo.
Ritual nyalamaq dilauq menjadi satu identitas sekaligus "sebagai wadah untuk menyatukan perbedaan suku-suku bangsa di Tanjung Luar dan kelestarian lingkungan pesisir," tulis Habibuddin, Hanapi, dan Burhanuddin.
Habibuddin bersama dengan tim risetnya menulis dalam jurnal Geodika dengan artikel ilmiah berjudul Pelestarian Lingkungan Pesisir Melalui Ritual Nyalamaq Dilauq di Desa Tanjung Luar Keruak Lombok Timur yang terbit pada tahun 2023.
Secara historis, menurut tradisi tutur yang masih dipegang kuat oleh masyarakat Tanjung Luar hingga kini, terdapat legenda mengenai awal mula penyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq di Lombok Timur dalam beberapa versi.
Pertama, ritual nyalamaq dilauq pada awalnya diselenggarakan oleh suku Mandar, tepatnya di Balanipa. Balanipa merupakan sebuah kerajaan di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh tomakaka.
Suatu ketika, tatkala kerajaan Balanipa dilanda wabah penyakit, seorang tokoh bernama Datu’ Mandar yang bergelar Mara’dia Ma’danuang memperoleh ilham (petunjuk). Petunjuk tersebut berisi tentang cara mengusir wabah penyakit.
Disebutkan apabila wabah penyakit tersebut hilang dari Balanipa, maka masyarakatnya harus melangsungkan upacara selamatan laut dengan mengorbankan kepala kerbau.
Menariknya, seusai ritual diselenggarakan, wabah penyakit yang menimpa Kerajaan Balanipa sirna. Sejak saat itu, suku Mandar menyelenggarakan ritual nyalamaq dilauq (selamatan laut).
"Kisah legenda itu dikuatkan dalam bait syair pitoto yang dibacakan pada saat penyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq tentang pertemuan Mara’dia Ma’danuang (dari suku Mandar) dengan suku Bajo," terus Habibuddin dkk.
Dari pertemuan tersebut, suku Mandar memercayakan penyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq pada suku Bajo demi menjaga kehidupan rakyat Bajo.
Melalui pertemuan tersebut, tersirat pesan yang bersifat reciprocal antara suku Mandar dan Bajo untuk bersama-sama menjaga pesisir dan laut, seperti tidak mengotori laut dan tidak melakukan pengrusakan terhadap terumbu karang.
Dalam legenda yang berkembang di masyarakat pesisir Lombok Timur, pentingnya komitmen antarsuku dilakukan dengan upaya melestarikan lingkungan pesisir dan laut serta ritual ini diwariskan secara turun temurun antargenerasi.
Selain itu, terdapat versi kedua. Versi kedua ini mengisahkan bahwa ritual nyalamaq dilauq telah ada sejak lama dan dilakukan turun-temurun semenjak tahun 1600-an. Ritus ini dibawa oleh nenek moyang suku Bajo.
Menurut M. Saifullah dalam jurnal Habibuddin dan tim, menyebut bahwa versi ini mengacu pada legenda yang mengisahkan nenek moyang suku Bajo bernama Punggawa Rattung, seorang pengembara dari Sulawesi Selatan.
Ia juga disebut-sebut "termasuk keturunan raja Gowa garis keturuan Mara’dia Palarangan," tulis Saifullah. Punggawa Rattung berlayar menggunakan perahu dayung seorang diri sampai ke Tanjung Luar.
Selepas itu, disandarkan perahunya di tepi pantai Tanjung Luar, tepatnya di Kampung Toroh Selatan sekarang. Ia pun menetap lama di sana hingga menikah dengan wanita di sana dan menurunkan suku Bajo.
Setelah berpuluh-puluh tahun menetap di Tanjung Luar dan memiliki keturunan, Punggawa Rattung rindu pada kampung halamannya, maka ia mengumpulkan semua anak cucunya. "Niatnya diutarakan untuk kembali ke Sulawesi Selatan," sambung Habibuddin dkk.
Setalah pamit, Punggawa Rattung mengayuh perahu dayungnya ke arah tenggara, tepatnya di depan pelabuhan. Setelah itu, Punggawa Rattung menghilang ditelan laut dan tenggelam entah kemana rimbanya.
Hal itu membuat anak cucunya heboh dan pergi ke lokasi tersebut untuk memastikan posisi menghilangnya Punggawa Rattung. Ternyata di tempat tersebut muncul terumbu karang.
"Keturunan Punggawa Rattung yakin gugusan karang tersebut jelmaan Punggawa Rattung, dan penjelmaannya itu tersebar ke seluruh penjuru desa," lanjutnya. Tahun-tahun berselang, datanglah Mbo Bisu yang mengaku saudara dari Punggawa Rattung.
Kedatangannya disambut baik oleh keturunan Punggawa Rattung karena ilmunya setara, baik ilmu perbintangan (astronomi), ilmu gaib, dan lain-lain.
Setelah bermukim cukup lama, Mbo Bisu meminta izin pada warga suku Bajo untuk melihat tempat Punggawa Rattung menghilang, hingga ia dipastikan menghilang tepat di lokasi Punggawa Rattung tenggelam.
Sejak itu, masyarakat pesisir Bajo keturunan Punggawa Rattung mulai mengenang hilangnya kedua leluhur mereka di depan pelabuhan, sedangkan tanda memperingatinya, warga Bajo menyembelih kerbau yang terbaik yang dikenal dengan nyalamaq dilauq.
Representasi kisah ini merujuk pada ritual nyalamaq dilauq dalam menjaga kelestarian ekosistem bawah laut. Perwujudan karang sebagai jelmaan Punggawa Rattung, membuat masyarakat pesisir Bajo berupaya mewarisi kelestarian laut dan ekosistemnya.
Pada versi ketiga, Habibuddin dan tim risetnya menyebut bahwa peyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq berkaitan dengan Pelabuhan Pijot terletak di sebuah teluk yang ramai didatangi pedagang dari berbagai negeri.
Pelabuhan Pijot masa itu dalam catatan sejarah lokal Lombok telah disebutkan sejak abad ke-14 dan menjadi pusat perdagangan dan penghubung Pulau Lombok dengan pulau-pulau lainnya di wilayah Nusantara bagian timur.
Pelabuhan Pijot juga menjadi tempat singgah (transaksi) kapal-kapal besar yang berlayar dari wilayah timur, seperti Makassar, Sumba, Ende, Bima, Sumbawa, dan pulau-pulau kecil lainnya, sedangkan dari wilayah barat seperti Batavia, Surabaya, Madura, dan Bali.
Kapal-kapal tersebut tidak dapat bersandar, karena teluk Pijot dangkal dan sempit, maka pengawasan arus keluar masuk barang, pemerintah kolonial Belanda tahun 1880 mendirikan douane (bea cukai) di Tanjung Luar.
Douane ini disebut oleh warga masyarakat Tanjung Luar dengan bale boom, dan dalam perkembangannya disebut palabuang. Peresmian berdirinya douane atau palabuang ini dilakukan dengan selamatan pelabuhan.
Dari peresmian pelabuhan ini, kemudian dikenal oleh masyarakat pesisir Tanjung Luar dengan nama nyalamaq palabuang atau nyalamaq dilauq, dan sejak itu ritual ini menjadi sakral dilakukan oleh masyarakat pesisir di Lombok Timur.
Mulai sejak saat itu, nyalamaq palabuang atau nyalamaq dilauq sekaligus menjadi rasa syukur masyarakat pesisir, utamanya para remaja di Lombok Timur untuk menjaga laut mereka.
Biasanya, puncak pelaksanaan ritual nyalamaq dilauq dilakukan dengan melarung kepala kerbau yang telah diletakkan pada rakit dikki (rakit kecil) tepat di atas gugusan terumbu karang cincing yang terletak ±150 meter dari dermaga perikanan ke arah tenggara.
Seusai pelarungan kepala kerbau tersebut, peserta ritual nyalamaq dilauq, seperti peserta karnaval laut, penonton, dan tamu undangan yang berada di pinggir pantai melakukan siram-siraman dengan air laut.
Proses konservasi lingkungan dilakukan dengan acara menutup laut dari segala aktivitas melaut dan aktivitas lainnya di kawasan pesisir selama tiga hari. Selama tiga hari, semua nelayan termasuk nelayan desa atau desa tetangga tidak diperkenankan melaut.
Selama tiga hari, seluruh aktivitas di kawasan pesisir tidak perkenankan, perahu ditambatkan, wisatawan tidak boleh masuk kawasan pantai Tanjung Luar dan sekitarnya, dan pasar ikan tutup sementara waktu.
Ritual nyalamaq dilauq bukan hanya sekedar upacara, namun untuk mengingatkan masyarakat pesisir tentang dampak pencemaran lingkungan pesisir. Lingkungan pesisir, seperti air, oksigen, cahaya matahari, garam, pasir, batu, dan lain-lain.
Nilai-nilai edukasi ini tergambar dari prosesi ritual ngalamaq dilauq sebagai bentuk kepedulian masyarakat pesisir terhadap lingkungannya. Tak heran, notabene peserta ritual ini adalah generasi milenial dan remaja sebagai pelestari laut di masa mendatang.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Geodika: Jurnal Kajian Ilmu dan Pendidikan Geografi |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR