Nationalgeographic.co.id—Boleh jadi kita adalah orang-orang pelupa—atau mudah untuk melupakan. Satu dekade silam, para pejalan dan petualang begitu gegap gempita memuja keindahan bentang laut dan pesisir Raja Ampat. Kawasan ini digadang-gadang memiliki nilai penting yang menautkan hubungan manusia dan ekologi pesisir. Satu dekade kemudian, kita baru menyadari bahwa kita telah pelan-pelan menghancurkannya.
Mengapa bentang alam Raja Ampat begitu penting? Pertanyaan itu memiliki beragam jawaban, tergantung dari sudut pandang mana kita berpijak. Dalam konteks ekologi, bentang Laut Kepala Burung memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di jantung Segitiga Terumbu Karang, termasuk di dalamnya Raja Ampat dan Teluk Cenderawasih. Hunian bagi lebih dari 600 spesies karang serta 1.700 jenis ikan.
UNESCO menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai Global Geopark pada 24 Mei 2023. Penetapan itu atas dasar pemikiran bahwa kawasan ini memiliki keajaiban luar biasa, yang tidak dijumpai di belahan dunia manapun. Bentang alamnya memiliki keunikan geologi, keanekaragaman hayati, serta keterlibatan masyarakat adat dalam pelestarian pesisir.
Berdasar peta "Bentang Laut Kepala Burung: Suarga Loka di Sudut Nusantara" dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2025, Pulau Gag berada di perairan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau kecil seluas sekitar 6.060 hektare ini menjadi ajang kecamuk pengerukan bijih nikel sejak beberapa dekade silam. Belakangan mencuat pemberitaannya terkait aktivitas pertambangan dan nasib pulau itu.
Pulau ini dikepung tiga kawasan lestari: Di sisi timurnya adalah Suaka Alam Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya; di sisi timur dan selatannya adalah Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kepulauan Raja Ampat Area 6 - Kepulauan Fam; dan di sisi utaranya adalah Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut Sekitarnya.
Suaka Alam Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya telah ditetapkan sejak 2009 dan diperbarui pada 2014, yang menjadi salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Perairannya memiliki 1.318 spesies ikan karang dan 533 spesies karang keras, sehingga menjadi pusat perlindungan bagi ekosistem laut yang sangat bernilai.
"Usikan kegiatan manusia di pulau kecil, termasuk di wilayah Raja Ampat perlu kehati-hatian dan terukur, tidak bisa sembrono," kata Mahawan Karuniasa selaku Board of Expert di National Geographic Indonesia.
Menurut Mahawan, kegiatan di pulau kecil dapat langsung berdampak pada ekosistem pesisir yang menjadi tempat bergantung keanekaragaman hayati laut kita. Di sisi lain, ekosistem pesisir juga menyokong ekonomi nasional dan kehidupan masyarakat miskin di pesisir. Artinya, "Aktivitas pembangunan, di manapun berada, berarti menyejahterakan masyarakat terdekat dan melestarikan ekosistem disekitarnya."
Ia menambahkan, pulau-pulau kecil—seperti di Kepulauan Raja Ampat—memiliki ekosistem yang sensitif dan memiliki sumber daya terbatas. Perubahan iklim, selain mengancam terumbu karang karena meningkatnya keasaman air laut, juga akan menenggelamkan pulau-pulau kita. "Akibat perubahan iklim," imbuhnya, "diperkirakan pada tahun 2030 Indonesia berpotensi kehilangan 2.000 pulau kecil."
Baca Juga: Kisah Perempuan Raja Ampat Melestarikan Alam Lewat Kearifan Lokal
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR