Kekayaan taman bumi
Pulau Nugini, tempat Papua bersemayam, ditempa oleh alam sejak sekitar 60 juta tahun silam saat mulai bangkit dari dasar lautan. Tumbukan antara lempeng Eurasia (Paparan Sunda), lempeng Indo-Australia (Paparan Sahul) serta lempeng Pasifik, menjelmakan daratan baru tersebut di bagian utara Australia. Seiring waktu, pegunungan nan rumit serta serakan pulau memunculkan sempadan geografis, menciptakan keunikan di ujung Nusantara.
Raja Ampat memiliki kekayaan geologi berupa batuan tertua di Indonesia yang berasal dari era Silur-Devon, sekitar 443,8–358,9 juta tahun silam. Artinya, keberadaan batuan periode ini menunjukkan Raja Ampat hampir sepersepuluh usia Bumi.
“Periode Silurian—yang paling akbar dari semua periode—dan, sejauh ini, tampaknya merupakan masa penaburan bagi semua kehidupan yang akan datang,” ungkap John Jeremiah Bigsby, seorang geolog Inggris, dalam bukunya bertajuk Thesaurus Siluricus: The Flora and Fauna of the Silurian Period yang terbit pada 1868. Menurutnya, periode ini sebagai masa yang sangat penting dalam sejarah kehidupan di Bumi, buaian bentuk kehidupan awal mulai berkembang.
Periode Silur ditandai dengan kemunculan pemulihan kehidupan laut—setelah kepunahan besar. Pada periode ini terumbu karang mulai bermunculan, vertebrata rahang pertama mulai mengisi ekologi laut, sementara di daratan mulai dirambati tumbuhan perintis—semacam lumut dan paku. Raja Ampat adalah sains tentang asal-usul Bumi itu sendiri.
Sementara itu Henry Alleyne Nicholson dalam The Ancient Life History of the Earth, yang terbit pada 1877 mengungkapkan tentang pentingnya Periode Devon. “Salah satu ciri paling khas dari kehidupan Devonian adalah perkembangan besar Vertebrata akuatik, yang begitu mencolok sehingga periode ini sering disebut sebagai Zaman Ikan,” tulisnya.
Periode Devon ditandai kemunculan berbagai jenis ikan, sehingga kerap dijuluki "Zaman Ikan". Setelah lumu dan paku berkembang, tumbuhan di darat kian kompleks merujuk munculnya pohon pertama dan awal hutan di Bumi. Evolusi satwa laut yang mampu merambah ke daratan yang ditandai dengan kemunculan amfibi pertama.
Mark Cloos, ahli geologi dari University of Texas AS bersama rekan-rekannya mengungkapkan, bahwa sejatinya wilayah Kepala Burung dipengaruhi oleh dua aktivitas tektonik besar. Sejak Kala Eosen (sekitar 55 hingga 33 juta tahun yang lalu) Lempeng Pasifik dengan kecepatan 7,5 sentimeter per tahun di wilayah ini bergerak aktif ke arah barat daya dan Lempeng barat laut Australia dengan kecepatan 10,5 sentimeter per tahun melaju ke arah utara.
Dua pergerakan yang berlangsung hingga detik ini mengakibatkan banyaknya gempa, sekaligus membentuk struktur geologi wilayah Kepala Burung nan kompleks. Aktivitas geologi telah menyebabkan kawasan ini menjadi zona dengan pergerakan tektonik tinggi. Salah satu aspeknya yakni pembentukan batuan ultrabasa dan mafik—dua jenis batuan utama pembawa nikel.
Namun, sejatinya nilai ekologis dan konservasinya jauh lebih tinggi dibanding nilai ekonomi dari galian tambangnya. Atas dasar ekologi, kawasan ini ditetapkan sebagai Global Geoark yang lebih diarahkan untuk pelestarian, bukan eksploitasi. Status ini juga memperkuat komitmen terhadap konservasi dan pelestarian alam dan budaya untuk generasi mendatang.
Apa jadinya bila Raja Ampat hilang dari Bumi?
Raja Ampat terlalu mahal untuk dipertaruhkan dengan apapun. Apabila bentang alamnya lenyap secara tiba-tiba—entah karena digadaikan untuk eksploitasi atau kehendak alam—kita akan menderita kehilangan-kehilangan.
Kita merugi atas lenyapnya kekayaan geologi yang berisi arsip-arsip perjalanan Bumi. Hilangnya Raja Ampat juga berarti keruntuhan ekosistem laut dunia. Kita pun akan kehilangan teladan masyarakat adat yang telah membuktikan bahwa manusia bisa hidup berdampingan secara berkelanjutan dengan alam. Artinya, kita telah kehilangan kerajaan laut, taman bumi purba, dan rumah bagi para pelestari ekologi yang hidup dalam dongeng dan senandung adat.
Sebelum sesal-sesal kian menjadi-jadi. Mohandas Karamchand Gandhi, tokoh pemikir dari India, pernah mewanti-wanti perilaku kita yang cendurung kemaruk. “Dunia cukup untuk kebutuhan semua orang," ujarnya "tetapi tidak cukup untuk keserakahan semua orang.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR