Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi yang dipimpin peneliti dari University of Alabama, Tuscaloosa menunjukkan bahwa polutan antropogenik memberikan dampak paling besar pada perairan dan ekosistem pesisir Indonesia. Polutan antropogenik adalah polutan yang berasal dari aktivitas manusia.
"Sebagian perairan pesisir Indonesia berada dalam status kualitas buruk," tulis para peneliti. "Nutrien, logam berat, polutan organik, dan sampah plastik merupakan polutan antropogenik yang paling banyak dipelajari."
Studi tersebut juga melibatkan peneliti University of Indonesia, Sepuluh Nopember Institute of Technology, Diponegoro University dan Ministry of Marine Affairs and Fisheries.
Hasil penelitian mereka telah dijelaskan di jurnal Marine Pollution Bulletin dengan judul "Anthropogenic impact on Indonesian coastal water and ecosystems: Current status and future opportunities."
Seperti diketahui, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat. Saat ini, telah berjuang melawan polusi air pesisir dalam beberapa dekade terakhir.
"Dengan meningkatnya populasi di kota-kota pesisir, semakin banyak polutan dari daratan yang berpindah ke perairan pesisir dan berdampak buruk pada ekosistem tropis," peneliti menjelaskan.
"Tulisan ini memberikan gambaran studi polutan antropogenik di perairan dan ekosistem pesisir Indonesia pada tahun 1986 hingga 2021."
Mereka menemukan nutrien sebesar 82%, logam berat 54% dan polutan 50%. Jumlah tersebut melebihi batas standar dan engan demikian, menunjukkan status kualitas air yang buruk di sebagian ekosistem pesisir Indonesia.
"Ekosistem terumbu karang diketahui paling sensitif terhadap gangguan antropogenik," menurut para peneliti.
Isu ekosistem pesisir
Peneliti menjelaskan, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah yang luas. Mulai dari Sumatera, hingga Papua yang merupakan bagian dari pulau terbesar kedua di dunia, New Guinea.
Dua rangkaian pulau, Nusa Tenggara dan Maluku, juga memiliki peran sejarah dan ekonomi yang signifikan di negara ini. Tujuh puluh delapan persen wilayah Indonesia terdiri dari perairan.
Indonesia memiliki lebih dari 81.000 km garis pantai yang mewakili ekosistem pesisir dan laut tropis yang paling beragam di dunia. Laut Indonesia dianggap sebagai ekosistem dengan produktivitas tinggi, sehingga meningkatkan produktivitas di semua tingkat rantai makanan.
Kawasan ini terletak di pusat keanekaragaman hayati Indo-Pasifik Barat, yang sebagian besar terdiri dari tiga ekosistem: karang, bakau, dan lamun.
Sisi timur Indonesia merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang, kawasan laut dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di bumi.
Segitiga Terumbu Karang bagian Indonesia menampung lebih dari 75% spesies karang dunia di 51.000 km2 kawasan terumbu karang, menurut Asian Development Bank.
Ekosistem mangrove di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar secara global, dengan luas lebih dari 33.100 km2, mencakup lebih dari 20% mangrove dunia.
Indonesia juga memiliki luas lebih dari 30.000 km2 padang lamun di seluruh nusantara. Secara total, hutan bakau dan padang lamun di Indonesia menyimpan 17% cadangan karbon biru dunia, peneliti menjelaskan.
Peneliti mengatakan, isu-isu ekosistem pesisir dan kualitas air di Indonesia menjadi fokus penelitian mereka. "Berdasarkan penelitian yang diterbitkan antara tahun 1986 dan 2021, kami menemukan bahwa masalah yang paling mendesak adalah terkait dengan polusi nutrien."
"Karena 82% penelitian yang kami tinjau menunjukkan konsentrasi nutrien melebihi batas standar, dibandingkan dengan logam berat sebesar 54% atau polutan organik sebesar 50 persen."
Nutrien merupakan unsur atau senyawa kimia yang digunakan dalam metabolisme suatu organisme. Di antara beberapa nutrien, yang tergolong dalam nutrien organik adalah karbohidrat, lemak, protein, asam amino.
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Asian Development Bank yang menyatakan bahwa kualitas air pesisir relatif buruk dan memerlukan perhatian segera.
Studi menunjukkan bahwa kelebihan nutrien pada ekosistem pesisir berkorelasi dengan kejadian ekologi seperti hipoksia dan eutrofikasi (peningkatan kadar mineral).
Selain itu, kami menemukan bahwa tingginya kandungan nutrien telah mengakibatkan penurunan tutupan habitat, jumlah spesies, komposisi, dan keanekaragaman ekosistem.
Menurut peneliti, meskipun banyak penelitian yang mencakup berbagai zat terlarut (nutrisi, logam berat, polutan organik, sampah plastik, dan mikroplastik) telah dilakukan di Indonesia, beberapa fokus penelitian masih perlu dipelajari secara rinci.
Sehingga di masa akan dapat dapat memperkirakan dengan lebih baik kontribusi dan pengaruh berbagai zat terlarut di perairan ekosistem pesisir Indonesia.
"Selain rekomendasi arah penelitian di masa depan untuk memahami polutan dan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem Indonesia, standar lingkungan yang ada saat ini juga disarankan untuk diperbarui," tulis peneliti.
"Secara khusus, diperlukan peraturan untuk sampah plastik/mikroplastik, serta logam berat dan polutan organik di sedimen, karena konsentrasinya biasanya lebih tinggi di sedimen dibandingkan kolom air."
Selain itu, para peneliti juga menyarankan pentingnya ketersediaan basis data lingkungan yang terbuka. Basis data ini akan memudahkan identifikasi distribusi polutan secara spasial dan temporal.
Selain itu, juga akan memfasilitasi pekerjaan pemodelan yang sangat langka di Indonesia, namun sangat dibutuhkan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut di masa depan.
"Secara keseluruhan, kami berpendapat bahwa proses dan studi yang diuraikan dalam tinjauan ini mungkin penting bagi ekosistem pesisir tropis di seluruh dunia," menurut para peneliti.
"Khususnya di negara-negara berkembang di mana pengelolaan lingkungan mungkin dibatasi oleh undang-undang atau masalah sosial-ekonomi."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Marine Pollution Bulletin |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR