Nationalgeographic.co.id—Indonesia diberkati dengan wilayah pesisir yang luas, Indonesia juga telah mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan potensi tersebut. Namun demikian, sumber daya pesisir Indonesia masih sering diremehkan dan salah dikelola.
Ahli konservasi Victor Ph Nikijuluw menjelaskan hal tersebut dalam publikasinya. Ia menerbitkannya dalam jurnal Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education.
Makalah itu dipublikasikan dengan judul "Coastal Resources Conservation in Indonesia: Issues, Policies, and Future Directions".
Dijelaskan, Indonesia memiliki wilayah pesisir yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun terdapat kekhawatiran yang serius terhadap masa depannya, terutama mengenai status sumber daya pesisir.
Ekosistem pesisir utama yang membentuk wilayah pesisir Indonesia adalah hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Berbagai barang dan jasa dihasilkan oleh ekosistem pesisir ini.
Namun, beberapa barang dan jasa lainnya masih belum teridentifikasi, tidak dapat diukur, tidak dapat diperdagangkan, dan tidak dapat dimonetisasi dengan menggunakan teknologi dan mekanisme pasar yang ada.
"Akibatnya, sumber daya cenderung diremehkan dan akhirnya disalahgunakan dan salah dikelola," tulis peneliti.
Konservasi wilayah pesisir
Meskipun pemanfaatan wilayah dan sumber daya pesisir sangat penting bagi Indonesia, pada saat yang sama pengelolaan konservasi harus dilakukan.
Yang dimaksud dengan konservasi adalah pendekatan pengelolaan sumber daya yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya pesisir secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Konservasi dapat dilakukan melalui pelestarian, perlindungan, dan peningkatan nilai kualitas keanekaragaman hayati.
"Beberapa praktik konservasi terbaik telah diperkenalkan dan diterapkan oleh Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan organisasi nirlaba (LSM), masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan lainnya," peneliti menjelaskan.
"Tiga praktik terbaik sengaja dipilih untuk menunjukkan pendekatan dan inisiatif berbeda yang pada akhirnya dapat memenuhi tujuan konservasi."
Praktik terbaik konservasi spesies telah diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan LSM. Praktik terbaik lainnya adalah pendekatan Kawasan Konservasi Laut (KKP) yang direkomendasikan FAO.
FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian, adalah organisasi internasional yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelesaikan permasalahan pangan dan pertanian.
Pendekatan oleh FAO telah diadopsi oleh banyak negara, dan diterapkan secara luas oleh LSM. Kemudian praktik terbaik terakhir adalah kolaborasi CTI-CFF yang diusung oleh enam negara di kawasan.
CTI-CFF adalah inisiatif Segitiga Terumbu Karang. Inisiatif itu dibentuk untuk konservasi terumbu karang, perikanan, dan ketahanan pangan. Inisiatif itu juga dikenal sebagai Inisiatif Segitiga Terumbu Karang, kemitraan kolaboratif multilateral antara enam negara.
Konservasi spesies
Selain konservasi wilayah pesisir, pendekatan lain yang sangat penting adalah konservasi spesies. Salah satu spesies penting yang dilindungi sepenuhnya adalah hiu paus (Rhincondon typus).
Melalui Keputusan Menteri No 18/2013, penangkapan ikan tersebut pada seluruh siklus hidupnya dihapuskan sepenuhnya.
Seluruh bagian tubuh ikan dilarang untuk diperdagangkan. Peraturan ini diterapkan dengan sangat efektif sehingga penangkapan spesies ikan ini tidak lagi terjadi di seluruh wilayah pesisir.
Patroli berkelanjutan yang dilakukan oleh petugas perikanan setempat dapat menjadi alasan utama efektivitas pelaksanaannya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga secara selektif melindungi lobster (Panalirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus pelagicusspp) dengan menentukan ukuran tangkapan minimum yang diperbolehkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2015, juga ditetapkan batas minimal hasil tangkapan lobster, rajungan, dan rajungan masing-masing adalah 8 cm, 15 cm, dan 10 cm.
Peraturan ini memberikan ruang bagi regenerasi spesies dan pemulihan stok liar. Nelayan hanya dapat menangkap dan pedagang hanya dapat memasarkan spesies mahal ini dalam ukuran yang lebih besar.
Peraturan ini telah diterapkan secara efektif di sebagian besar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Spesies lain yang dilindungi adalah pari manta yang terkenal secara global.
Manta samudra (Manta birostris) dan manta karang (Manta alfredi) dilarang ditangkap dan diperdagangkan berdasarkan Keputusan Menteri No 4 tahun 2014.
Namun peraturan tersebut belum diterapkan dengan baik di beberapa wilayah pesisir, khususnya di kalangan masyarakat pesisir Pulau Lombok.
Dilatarbelakangi oleh tingginya harga ikan di pasar Tiongkok, ikan-ikan tersebut ditangkap dan diperdagangkan secara ilegal, terkadang ditutupi dengan motif tradisional.
Padahal di wilayah lain, khususnya di Raja Ampat, Teluk Cendrawasih, dan Kaimana, Papua Barat, ikan ini dilindungi oleh masyarakat setempat dan dijadikan objek wisata selam yang menarik.
Masih banyak lagi spesies yang dikategorikan sebagai terancam punah, endemik, dan terancam punah. Beberapa spesies bahkan terdaftar dalam appendix-II CITES, artinya perburuan dan perdagangan spesies tersebut harus dikendalikan dan dibatasi.
"Secara alamiah wilayah pesisir dan sumber daya yang dimilikinya mempunyai daya dukung dan batas tertentu," tulis peneliti.
"Oleh karena itu, sumber daya alam harus dimanfaatkan sebagai barang ekonomi dengan cara yang tepat sehingga sebagian sumber daya dapat diambil tanpa membahayakan kapasitas sumber daya untuk berkembang biak dan memperbaruinya."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Source | : | Neliti |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR