Nationalgeographic.co.id—Ketika diminta untuk menyebutkan petarung di era feodal Kekaisaran Jepang, samurai dan ninja mungkin yang pertama terlintas di benak.
Selama ratusan tahun, bahkan hingga kini, kisah perjuangan samurai terus memikat banyak orang. Namun ternyata, petarung di era feodal bukan hanya samurai dan ninja saja. Ada petarung atau prajurit yang disebut ashigaru.
Ashigaru, prajurit sewaan yang berasal dari kelas petani di Kekaisaran Jepang
Ashigaru adalah prajurit yang berasal dari kelas petani di Kekaisaran Jepang. Mereka ditarik atau disewa untuk menambah pasukan daimyo dari kelas samurai.
Seiring berjalannya waktu, ashigaru menjadi prajurit profesional yang termasuk dalam kelas samurai di Kekaisaran Jepang.
“Ashigaru adalah prajurit yang jadi bagian dari pasukan di Kekaisaran Jepang kuno,” tulis Nathaniel Edwards di laman Tofogu. Ashigaru dikenal juga sebagai pejuang pejalan kaki.
Mereka adalah kelompok yang tidak terlatih. Dan senjata yang digunakan adalah alat pertanian atau senjata rampasan dari samurai yang meninggal.
Kompensasi datang dalam bentuk jarahan, yang ternyata berjumlah besar. Menjadi seorang ashigaru terbukti jauh lebih menguntungkan dibandingkan menjadi petani biasa di masa itu. Hal ini menyebabkan sejumlah besar petani pun memilih untuk berjuang bersama dengan samurai.
Ketika menjadi ashigaru lebih menguntungkan daripada menggarap lahan di Kekaisaran Jepang
Para petani dengan cepat menyadari bahwa berperang dapat membuat mereka lebih kaya daripada menggarap lahan. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang berhenti bertani dan menjadi pejuang penuh waktu.
Selain itu, ashigaru juga “berkeliaran” di medan perang dan bergabung dengan pihak mana pun yang tampaknya lebih berpeluang menang. Mereka adalah tentara bayaran, tidak dapat diandalkan dan sulit diatur. Banyak dari mereka bahkan tidak paham pada posisi mana mereka harus berada. Selama pihak yang menang dan ada uang yang bisa dihasilkan, hal tersebut tidak masalah.
Karena alasan tersebut, ashigaru sering dianggap sebagai pejuang yang tidak bermoral di Kekaisaran Jepang.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR