Nationalgeographic.co.id - Hutan di Bumi Lancang Kuning adalah rumah bagi sebagian gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang terancam punah. Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah gajah sumatra di habitat aslinya di Provinsi Riau tersisa 200 hingga 300 ekor.
Salah satu penyebab penurunan populasi gajah sumatra adalah habitat yang semakin menyusut. Atas nama pembangunan, hutan yang menjadi rumah mereka dibabat. Aktivitas manusia yang semakin tinggi di dalam hutan, pun tak jarang menimbulkan interaksi negatif dengan gajah. Faktor utamanya adalah lenyapnya jalur-jalur gajah karena telah menjadi lahan terbuka atau perkebunan.
Gajah yang Tak Pernah Lupa
Elephant never forget atau gajah tidak pernah lupa adalah pepatah yang sering kita dengar tentang gajah. Apakah itu sekadar fiksi belaka? Nyatanya, itu memang benar-benar terjadi. Di alam liar, gajah cenderung mengikuti jalur yang sama selama bertahun-tahun untuk menuju sumber air atau makanan. Ketika manusia membuka lahan atau membangun permukiman tepat di jalur mereka, interaksi negatif manusia dan gajah akan terjadi.
Pemanfaatan GPS Collar untuk Mitigasi Interaksi Negatif Manusia dan Gajah
Sudah seharusnya bagi manusia untuk berkompromi dengan gajah dan memberi mereka peluang untuk hidup yang lebih baik. Upaya yang telah dilakukan adalah pemasangan Global Positioning System Collar (GPS Collar) atau Kalung GPS pada gajah. GPS Collar adalah perangkat yang dapat memantau pergerakan gajah dan perilaku dari populasi gajah di habitatnya terkini.
Dalam studi bertajuk “Instalasi dan studi GPS Collar untuk Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, tahun 2007 dan 2009”, teknologi ini telah digunakan pada gajah oleh WWF Indonesia sebelum tahun 2007. Kemudian, pada 2007 dan 2009, WWF Indonesia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA), dan Balai Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN) melakukan pemasangan GPS Collar bagi dua klan gajah di Taman Nasional Tesso Nilo.
Penulis utama, Wishnu Sukmantoro, menjelaskan bahwa saat itu GPS Collar digunakan untuk mengetahui pola pergerakan gajah dan daerah jelajah (home range), memetakan lokasi-lokasi gajah saat pengembaraannya, mengetahui kondisi habitat, dan mendorong desain strategi pengelolaan konservasi gajah dan mitigasi konfliknya.
Kini, teknologi GPS Collar juga digunakan oleh tim Rimba Satwa Foundation (RSF) di Riau untuk memantau pergerakan gajah. Ini termasuk upaya deteksi dini dan menentukan strategi mitigasi bagi warga yang tinggal di kawasan koridor gajah. Terdapat beberapa proses dalam pemasangan GPS Collar pada gajah.
Tim akan melakukan identifikasi gajah yang akan dipasang GPS. Utamanya adalah gajah betina dewasa yang menjadi pemimpin klan. Selanjutnya dilakukan pembiusan dan pemasangan GPS Collar pada gajah.
Setelah itu, tim akan terus memantau kondisi gajah hingga pulih dan kembali ke kelompoknya. Dalam pengoperasiannya, alat dengan berat sekitar 21 kilogram ini, akan memberi informasi keberadaan gajah liar melalui sinyal satelit ke receiver. Saat gajah terdeteksi akan memasuki permukiman atau kebun, tim RSF mengirim informasi tersebut kepada warga melalui telepon atau pesan WhatsApp.
Dengan begitu, warga dapat bersiap untuk melakukan blokade atau pengusiran gajah dengan bunyi-bunyian keras. Menurut pendiri RSF, Zhulhusni Syukri (40), pemasangan GPS Collar dapat menjadi peringatan dini dalam mitigasi interaksi negatif dengan gajah. Sejauh ini, penggunaannya dinilai efektif.
Hal ini senada dengan yang dirasakan oleh Makmun (52), warga Desa Lubuk Umbut, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Riau. Sebelum ada GPS Collar, ia dan warga hanya bisa mengetahui kedatangan gajah dari laporan desa lain. Semuanya hanya bisa diketahui dengan mengira-ngira.
“Gajah sebelum datang ke kampung kita, dia sudah melewati kampung lain. Nah, kita kan dengar kabar. Kalau sudah ada di Desa Bencah Umbai, KM 85, kalau ke Lubuk Umbut itu berarti [tibanya] hitungan menit,” terangnya.
Cara lain mengetahui kedatangan gajah adalah mendengar atau melihat letusan mercon di langit. Sebab, saat itu, kualitas sinyal telepon atau internet di desa masih kurang baik. “Kode kita hanya mercon. Tembakkan ke atas, kita langsung meluncur ke arah suara tadi,” ungkapnya.
Kini, seiring dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi di desa, informasi kedatangan gajah dengan GPS Collar semakin mudah. Saat tim RSF mendeteksi gajah akan masuk ke permukiman atau kebun, mereka akan mengirimkan informasi tersebut kepada warga melalui grup WhatsApp. Kelebihan GPS Collar tak hanya sebagai peringatan dini, tetapi juga keakuratannya karena disertai informasi titik keberadaan gajah.
Status konservasi gajah sumatra berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 termasuk satwa dilindungi. Sedangkan berdasarkan IUCN statusnya termasuk ke dalam kategori Critically Endangered (CR), yang artinya berisiko punah dalam waktu dekat.
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR