Nationalgeographic.co.id—Yoshitsune dalam kisah dikenal sebagai samurai kekaisaran Jepang yang jenius dalam bertarung. Namun ia dapat tampil sebagai sosok yang sangat berbeda.
Warisannya juga mencakup bidang seni dan sastra. Kisahnya telah diabadikan dalam karya fiksi dan teater yang tak terhitung jumlahnya sepanjang sejarah Jepang. Dari drama kabuki hingga novel seperti "The Tale of Heike", Yoshitsune memikat penonton dengan kisah tragisnya.
Selain kaya akan mitologi, Jepang juga memiliki banyak sekali sejarah tentang samurai. Salah satunya adalah kisah Yoshitsune. Berjalan-jalan dengan sutra halus dan memainkan seruling, sekilas tampak biasa saja. Dia sangat setia, tapi Yoshitsune juga orang yang berbahaya bagi siapa pun yang berani padanya.
Para penulis periode Muromachi melihat kembali ke zaman Heian untuk mendapatkan inspirasi. Laki-laki ideal mereka bukanlah pejuang kasar yang berjalan melintasi medan perang, melainkan penyair sensitif yang meratapi kefanaan hidup.
Pada sebagian besar literatur Jepang, Yoshitsune melakukan hal - hal seperti memandang rembulan, berpakaian sutra, memainkan serulingnya, menulis puisi, dan mempunyai hubungan asmara.
Dalam catatan sejarah, Yoshitsune lahir di masa Heian kekaisaran Jepang yang penuh gejolak, ia ditakdirkan untuk menjadi besar sejak usia dini. Sebagai saudara tiri Minamoto no Yoritomo, pendiri Keshogunan Kamakura, Yoshitsune dibesarkan di dunia yang penuh dengan seni bela diri dan peperangan.
Dikhianati oleh klannya sendiri dan dipaksa mengasingkan diri di usia muda, Yoshitsune menjadi buronan dalam upaya membalas dendam terhadap orang-orang yang telah berbuat salah padanya. Alih-alih mengenakan baju besi tradisional khas samurai kekaisaran Jepang, dia mengenaikan pakaian sutra halus dan memainkan seruling. Ia mengandalkan kecerdasan strategisnya untuk mengalahkan musuhnya.
Minamoto no Yoshitomo dan Tokiwa Gozen memberi nama Ushikawamaru pada putra kesembilan mereka yang kemudian dikenal Minamoto no Yoshitsune.
Tokiwa Gozen membawa Yoshitsune yang masih berusia dua tahun dan dua orang kakaknya melarikan diri saat suaminya tewas dalam pemberontakan Heiji di tahun 1159. Saat masih berusia tujuh tahun, Yoshitsune dititipkan di kuil Kurama. Disana dia hidup bahagia dan menjadi anak yang baik.
Yoshitsune mempelajari ajaran suci di kuil dan bahagia di sana, bahkan ia mempertimbangkan untuk menjadi pendeta suatu hari nanti. Namun takdir berkata lain, pada usia 15 tahun terjadi perubahan besar dalam hidup Yoshitsune, ketika ia mengetahui identitas dirinya yang sebenarnya.
Yoshitsune mendengarkan keseluruhan cerita dengan kaget karena tidak ada seorang pun di kuil yang menceritakan nasib ayahnya. Dia sangat ingin membalas dendam pada klan Heike, saat mengetahui cerita tentang kematian ayahnya. Sang ayah adalah seorang samurai kepala klan Kawachi Genji. Sementara itu keluarga Yoshitsune juga diganggu oleh musuh bebuyutan.
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR