Nationalgeographic.co.id—Abad ke-21 dipenuhi distorsi akibat pencemaran bumi yang dihasilkan gas-gas alam, berkat letusan gunung berapi dan partikel-partikel lainnya menyebabkan pencemaran berkelanjutan.
Candi porous atau yang bangunan candi berfondasi batuan andesit, memiliki kerentanan terkena berbagai masalah yang berkaitan dengan persoalan kerusakan dan pelapukan. Seperti halnya Candi Borobudur.
Sejak lama, tingkat keterawatan Candi Borobudur semakin mengkhawatirkan. Hal itu disebabkan karena Candi Borobudur kerap dinaiki sejumlah pengunjung dalam skala besar yang memberi kontribusi terhadap keamblesan struktur bangunan candi.
Namun, tidak hanya itu, "Jejak karbon juga berpotensi besar dalam proses kerusakan bangunan candi," tulis Agnes Sri Mulyani dalam artikel ilmiahnya kepada Universitas Kristen Indonesia yang berjudul "Pemanasan Global, Penyebab, Dampak dan Antisipasinya" terbitan 2021.
Jejak karbon meliputi banyak hal yang berkaitan dengan gas yang dihasilkan dari alam, hingga emisi gas yang dihasilkan oleh sejumlah aktivitas manusia. Seperti halnya aktivitas asap limbah pabrik yang dapat mengundang adanya hujan asam.
"Hujan asam adalah hasil dari adanya percampuran limbah kimia yang bercampur dengan air laut, hingga menghasilkan hujan asam yang bersifat korosif terhadap batuan (candi)," tutur Jonanda Anugerah Fattah, akademisi sekaligus peneliti di bidang Biologi dan lingkungan.
Hujan yang membawa asam dapat membuat korosi pada batuan, utamanya batuan andesit. Hujan asam juga dapat disebabkan dari proses erupsi dan abu vulkanik.
"Ketika gas vulkanik hasil dari erupsi gunung berapi dan bercampur dengan air, maka akan menghasilkan asam yang dapat bersifat korosif," sambung Wahyuni.
Asam-asam tersebut dapat berupa asam karbonat, asam sulfat, dan asam nitrat, yang dapat berasal dari proses pelarutan dari gas CO2, SO2, dan NO2 sebagai gas vulkanik, ke dalam air yang bersifat korosif.
Asam-asam tersebut bersifat korosif dan akan bereaksi dengan berbagai mineral, seperti feldspar atau plagioklas. Mineral ini merupakan komponen utama batu andesit atau batuan yang digunakan sebagai fondasi utama bangunan Candi Borobudur.
Wahyuni menjelaskan dalam tulisannya bahwa reaksi kimia yang dapat terjadi pada mineral feldspar atau plagioklas antara lain hidratasi, hidrolisis, dan karbonatasi.
Reaksi hidratasi adalah reaksi pembentukan mineral terhidrat, yaitu terikatnya molekul air pada permukaan mineral dalam batu.
Peristiwa ini dapat terjadi apabila batuan terendam dalam air, ketika bidang permukaan, sudut, dan rusuk kristal jenuh oleh molekul air yang membentuk mantel air.
Pelapisan ini dapat menyebabkan rusaknya bentuk kristal dan lepasnya energi ikat sehingga kristal akan retak dan pecah, membuat kerusakan yang siginifikan pada batuan andesit.
Reaksi hidrolisis adalah reaksi oleh adanya air, yang dipercepat oleh adanya zat asam. Dalam reaksi ini terjadi pertukaran alkali dalam mineral oleh ion hidrogen dari air dan asam, asam dapat menyediakan ion hidrogen dalam jumlah yang lebih banyak daripada air.
Reaksi hidrolisis ini akan menghasilkan alumino-silikat, asam silikat, dan membebaskan alkali hidroksida atau garam alkali. Peristiwa ini berakibat pada kerusakan struktur kristal mineral tersebut.
Sedangkan, reaksi karbonatasi yaitu reaksi mineral dengan asam karbonat (H2CO3) yang dapat berasal dari pelarutan gas CO2 ke dalam air. Salah satu contoh peristiwa ini adalah karbonatasi feldspar yang menghasilkan kaolin, garam, dan silika.
Reaksi-reaksi tersebut mengakibatkan dampak yang sama, yaitu transformasi mineral asal menjadi bahan lain yang lebih mudah mengalami peruraian, dan endapan garam.
Akibat dari reaksinya antara lain adalah terjadi keretakan atau pecahnya batu, penggaraman, dan pelapukan pada batuan andesit sebagai fondasi utama dari situs bangunan Candi Borobudur.
Selebihnya, hal yang selama ini dianggap sepele seperti halnya limbah aktivitas manusia, misalnya kenaikan kadar pencemaran udara SO2 di sekitar candi.
Adanya pencemaran udara di kawasan candi disebabkan karena asap kendaraan, pembusukan sampah, pemakaian dan limbah zat kimia yang tersebar di udara atau berkurangnya lahan hijau, dapat memengaruhi dan menjadi ancaman serius bagi keterawatan bangunan candi.
Akibat proses jejak karbon yang menyebabkan zat-zat kimiawi yang destruktif, akan berdampak pada munculnya kanker batu yang dinamakan postule (kanker atau bisul batu yang masih tertutup) dan menjadi alveole (kanker atau bisul batu yang telah pecah atau terbuka).
Hal ini terjadi setelah mengalami proses biokimiawi dan endapan garam dari air tersebut bercampur dengan protonema lumut. Semua proses biokimiawi sangat berpengaruh terhadap kebelanjutan Candi Borobudur.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk menjaga kelestarian lingkungan dari jejak karbon. Melalui kedisiplinan ini, kita akan mampu melihat jejak peradaban Borobudur lebih lama lagi.
Source | : | Repository UKI |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR