Nationalgeographic.co.id—Di era Kekaisaran Jepang feodal, shogun berkuasa dan memerintah di kekaisaran. Di masa itu, perebutan kekuasaan kerap terjadi. Mereka yang lebih kuat juga sering memerintah di balik pewaris takhta yang sah. Alhasil, penguasa boneka pun bermunculan di Kekaisaran Jepang.
Salah satunya adalah Ashikaga Yoshiteru. Ia merupakan putra sulung Ashikaga Yoshiharu, shogun ke-12 dari Klan Ashikaga. Ibunya, Konoe Hisamichi, adalah putri seorang bangsawan penting istana Kekaisaran Jepang.
Sebagai pewaris sah kepemimpinan keshogunan, terdapat banyak beban dan tanggung jawab yang diemban oleh Ashikaga Yoshiteru. Pendidikannya sangat ketat karena ia dilatih untuk menjadi pejuang yang terampil dan pemimpin.
Sebagai bagian dari Klan Ashikaga pada periode Muromachi, Ashikaga Yoshiteru adalah Shogun ke-13 dari Keshogunan Ashikaga. “Ia memerintah Kekaisaran Jepang antara tahun 1546 hingga 1565,” ungkap Minami Nagai di laman Yabai. Ashikaga Yoshiteru adalah salah satu dari beberapa shogun terakhir pada Periode Muromachi sebelum Klan Tokugawa mengambil kendali.
Silsilah dan pernikahannya hanya membuktikan kekuatan dan pengaruh Klan Ashikaga. Untuk memperkuat posisinya sebagai shogun, pernikahan ini digunakan untuk mendapatkan sekutu dan pendukung dari keluarga kuat lainnya.
Ashikaga Yoshiteru menikah dengan putri Konoe Taneie, bangsawan istana Kekaisaran Jepang periode Muromachi. Keduanya memiliki total lima anak, salah satunya adalah pewaris sahnya Ashikaga Yoshitaka yang tidak pernah mengambil peran kepemimpinan keshogunan. Dua putrinya adalah biarawati di kuil Kyokoji.
Perebutan kekuasaan yang mengarah pada pemerintahan penguasa boneka di Kekaisaran Jepang
Berdasarkan dokumentasi sejarah Kekaisaran Jepang, shogun adalah seorang diktator militer. Orang-orang ini memerintah Kekaisaran Jepang melalui kekuasaan dan pengaruh keluarga pejuang yang mendukung keluarga penguasa.
Di akhir masa pemerintahan Ashikaga, perebutan kekuasaan untuk keshogunan dimulai karena semakin orang yang mengincar gelar tersebut. Hal ini telah mencapai titik di mana orang-orang yang lebih berkuasa “mendikte” apa yang harus dilakukan oleh shogun.
Perebutan kekuasaan ini dimulai sejak masa pemerintahan shogun ke-9 dan ke-10 ketika Hosokawa Takakuni memonopoli kekuasaan keshogunan. Diketahui dalam sejarah bahwa shogun ke-9 mengundurkan diri dari jabatannya karena malu. Ia menjadi penguasa boneka ketika putranya, shogun ke-10, dilantik menggantikannya.
Keluarga-keluarga berpengaruh dari berbagai wilayah di Kekaisaran Jepang akhirnya mengetahui bahwa tokoh yang mengendalikan shogun. Mereka bergerak menuju ibu kota untuk ‘membantu’ shogun. Tapi alih-alih membantu, mereka pada akhirnya memonopoli kekuasaan seperti yang dilakukan kelompok radikal lainnya.
Pemerintahan Takakuni berakhir ketika ia diasingkan dari Kyoto oleh Miyoshi Motonaga dan Hosokawa Harumoto yang mengalahkan pasukannya.
Ashikaga Yoshiharu menjadi shogun di Kekaisaran Jepang
Shogun Jepang ke-11 ini memiliki dua putra kandung dan ketika dia meninggal, sudah jelas siapa yang harus memimpin. Namun, putra tertuanya Ashikaga Yoshitane mengasingkan diri ke Pulau Awaji dan melepaskan tanggung jawabnya. Inilah sebabnya mengapa putra bungsunya, Ashikaga Yoshiharu mengambil alih kekuasaan.
Ashikaga Yoshiharu memiliki harapan yang lebih baik pada shogun dan menginginkan perubahan dalam pemerintahan. Ketika Hosokawa Takakuni dikalahkan oleh Miyoshi Nagamoto dan Hokoawa Harumoto, semua orang mengira Shogun akhirnya akan memiliki kekuatan. Namun, Ashikaga Yoshiharu diusir dari Kyoto hanya 2 tahun setelah pemberontakan. Dia terpaksa “memerintah” kekaisaran di pengasingan.
Ashikaga Yoshiharu membuat gencatan senjata dengan Miyoshi dan Harumoto dan berusaha kembali ke ibu kota. Namun kemudian, ketika dia menginginkan kendali, dia kembali keluar dari Kyoto.
Kehilangan semua harapan untuk kendali dan kekuasaan, dan lelah berada di pengasingan, Yoshiharu mengundurkan diri dari posisinya sebagai shogun. Hal ini membuka jalan bagi putranya untuk menjadi shogun.
Shogun yang memerintah di pengasingan
Ashikaga Yoshiteru baru berusia 11 tahun ketika ia menjadi shogun Jepang ke-13. Pengunduran diri ayahnya telah melambungkan anak muda ini ke dalam kepemimpinan yang dipaksakan. Namun jabatannya itu hanyalah gelar kosong semata.
Yang menarik adalah ia diproklamasikan sebagai shogun saat berada di pengasingan. Kondisi ini menjadi kesempatan sempurna bagi Harumoto dan Miyoshi untuk memerintah menggantikan shogun muda.
Beberapa tahun setelah putranya menjadi shogun di pengasingan, Yoshiharu membuat gencatan senjata dengan Harumoto. Tujuannya, supaya keluarganya dapat kembali ke Kyoto. Namun, Miyoshi Nagayoshi mengkhianati Harumoto ketika ia memihak Hosokawa Ujitsuna. Akhirnya, Yoshiteru dan Yoshiharu disingkirkan dari ibu kota.
Yoshiharu meninggal di pengasingan. Saat beberapa tokoh melawan Ashikaga Yoshiteru, mereka berencana untuk membunuhnya. Namun, mereka takut akan konsekuensi membunuh seorang shogun. Karena itu, Ashikaga Yoshiteru pun dikembalikan ke ibu kota. Namun kali ini, Yoshiteru sudah menerima nasibnya hanya sekadar nama di atas kertas.
Kontroversi di balik kematian Ashikaga Yoshiteru
Beberapa dokumentasi mengindikasikan bahwa Yoshiteru dibunuh. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa dia bunuh diri. Yang jelas, shogun muda itu tidak meninggal secara wajar dan ada motif tersembunyi di balik pemerintahan sepupunya sebagai shogun.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Ashikaga Yoshiteru? Ketika Miyoshi Nagayoshi meninggal pada tahun 1564, Yoshiteru akhirnya memiliki kesempatan untuk merebut kembali kekuasaan dan otoritas penuh shogun.
Punggawa Miyoshi Nagayoshi, Matsunaga Hisahide, juga menganggap kematian ini sebagai kesempatan sempurna untuk memerintah. Mereka telah melakukan penyergapan di kastel Yoshiteru dengan menghancurkan bangunan demi bangunan sebelum mencapai benteng utama.
Tidak ada bantuan yang tiba tepat waktu untuk Yoshiteru dan hanya ada beberapa pasukan di rumahnya yang melindunginya. Orang-orang ini segera dikuasai oleh Hisahide. Penyergapan ini, dengan pasukan dan bala bantuan yang minim, membuat Yoshiteru terlalu lemah untuk melawan para pelaku baru ini.
Yoshiteru dikenal sebagai shogun Jepang terakhir yang efektif. Ia memiliki kesempatan dan motivasi untuk mengeklaim kembali kekuasaan shogun dari panglima perang daimyo yang mementingkan diri sendiri di sekitarnya.
Sebagai pemimpin, Ashikaga Yoshiteru sangat dihormati dan bahkan dianggap sebagai pemimpin yang hebat, seperti ayahnya sebelumnya. Sama seperti pemimpin terhormat di Kekaisaran Jepang lainnya, tidak ada seorang pun yang ingin terbunuh di tangan musuh. Ketika dia menyadari bahwa harapannya kecil untuk menang melawan pemberontakan, dia bunuh diri.
Hal Penting pada pemerintahan Ashikaga Yoshiteru
Ashikaga Yoshiteru adalah shogun yang kuat dan terpintar di zaman Muromachi. Dia tercatat melakukan negosiasi perdamaian dengan daimyo kuat di luar Kyoto. “Uesugi Kenshin, Mori Motonari, dan Oda Nobunaga sebagai beberapa dari mereka,” tambah Nagai.
Ashikaga Yoshiteru menjadi panutan bagi para panglima perang. Hal ini membuatnya mendapatkan kepercayaan dan dukungan lebih lanjut dari keluarga yang berkuasa. Selain itu, ia juga merupakan pendekar pedang terkenal yang kemampuannya setara dengan leluhurnya, Ashikaga Takauji.
Saat ia meninggal, panglima perang yang kuat dari seluruh Kekaisaran Jepang melakukan perjalanan ke ibu kota. Mereka memberikan penghormatan terakhirnya kepada shogun. Selain itu, jeda kepemimpinan selama 3 tahun setelah kematiannya merupakan indikasi jelas bahwa ia sulit digantikan.
Di tahun-tahun mendatang, putranya Yoshiaki akan mengambil peran keshogunan setelah kematian Yoshihide. Shogun ke-15 ini menjadi shogun terakhir dari Klan Ashikaga sebelum Keshogunan Tokugawa mengambil alih kepemimpinan Kekaisaran Jepang.
Source | : | Yabai.com |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR