Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah Romawi kuno, terdapat konsep sosial mendasar yang mengatur aspek-aspek intim kehidupan sehari-hari, yaitu Patria Potestas atau "kekuatan ayah". Hal ini merupakan landasan fundamental masyarakat Romawi dan memengaruhi hukum pada masa itu.
Prinsip kuno Romawi ini memberikan laki-laki kepala rumah tangga otoritas yang hampir seperti dewa atas keluarganya, sehingga membentuk tatanan sosial dari salah satu peradaban paling berpengaruh dalam sejarah. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan Patria Potestas?
Bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan pria, wanita, dan anak-anak di zaman Romawi kuno dan mengapa undang-undang ini dibuat?
Konsep Patria Potestas berakar kuat di Republik Romawi, suatu periode yang berlangsung dari abad ke-6 SM hingga abad ke-1 SM, dan terus berpengaruh di seluruh Kekaisaran Romawi.
Bukan sekedar konstruksi sosial, hukum ini dikodifikasikan ke dalam hukum Romawi, yang merupakan sistem rumit yang mengatur segalanya mulai dari perdagangan dan dinas militer hingga praktik keagamaan dan kehidupan keluarga.
Kekuasaan seorang ayah atas anak-anaknya diakui sebagai yang tertinggi. Anak-anak tidak dapat melawan keinginan ayahnya. Banyak penyalahgunaan kekuasaan yang dapat dikendalikan melalui konvensi dan kecaman sosial, meskipun sang ayah masih mempunyai kemampuan untuk mengambil tindakan apa pun yang dianggap perlu, terutama jika menyangkut hukuman.
Kekuasaan ayah juga diturunkan dari generasi ke generasi, dengan cucu dan cicit di bawah kendalinya. Namun, banyak anak yang terbebas dari patria potestas pada saat mereka mencapai usia pertengahan dua puluhan, karena mengingat angka harapan hidup di zaman Romawi Kuno (yaitu pertengahan hingga akhir empat puluhan), generasi sebelumnya biasanya sudah meninggal.
Mereka yang tinggal di rumah tangganya sendiri pada saat ayahnya meninggal dunia menjadi ayah dari keluarga di rumah tangganya sendiri, meskipun mereka masih remaja.
Patria potestas berarti bahwa hanya ayah yang mempunyai hak dalam hukum perdata dan oleh karena itu, apa pun yang diperoleh anak menjadi milik ayah. Sang ayah mungkin mengizinkan anaknya untuk memperlakukan properti itu sebagai miliknya, tetapi di mata hukum, properti itu tetap menjadi milik sang ayah.
Kekuasaan ayah tidak hanya terbatas pada harta benda anak-anaknya; dia juga bisa menjualnya sebagai budak jika dia mau. Namun jika hal ini terjadi sebanyak tiga kali, undang-undang menyatakan bahwa anak tersebut tidak lagi berada di bawah patria potestas.
Meskipun sang ayah mempunyai kemampuan untuk menyetujui atau menolak pernikahan putra atau putrinya, sebuah dekrit Augustus menyatakan bahwa dia tidak diperbolehkan untuk menahan izin tersebut tanpa alasan yang kuat.
Hukum tidak mengizinkan dia memaksa anak-anaknya untuk menikah. Ia juga tidak punya hak untuk mencegah anak-anaknya bercerai.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR