Nationalgeographic.co.id—Lingchi adalah metode eksekusi sadis dalam sejarah Tiongkok kuno. Sesuai dengan namanya, salah satu bentuk penyiksaan dengan cara mengiris korbannya berulang kali hingga meninggal.
Biasanya metode eksekusi ini untuk kejahatan yang paling buruk. Sebagai bentuk eksekusi, lingchi tidak dilakukan dengan mudah.
Praktik kuno ini dimulai dengan mengikat korban pada tiang atau bingkai kayu. Setelah diikat, berbagai algojo akan bergiliran mengiris bagian tubuh yang berbeda.
Algojo memulai dengan dada, lengan, atau kaki, kemungkinan besar tergantung pada kebijaksanaan mereka sendiri. Tapi bagaimanapun juga, itu akan menjadi penderitaan bagi orang yang dipaksa menanggung rasa sakit karena dibantai hidup-hidup.
Asal Usul Lingchi
Sebagai metode eksekusi, lingchi sudah ada sejak berabad-abad yang lalu dalam sejarah Tiongkok. Salah satu contoh paling awal adalah dari Pangeran Liu Ziye. Dikatakan bahwa dia memerintahkan beberapa pejabat untuk dibunuh oleh lingchi sebelum dia diperintahkan oleh kaisar untuk bunuh diri.
Liu Ziye adalah pengecualian awal, karena dia adalah seorang pria yang dikenal karena kekejamannya dan kegemarannya membunuh dengan seenaknya.
Secara umum, tampaknya lingchi hanya disimpan untuk kejahatan yang paling mengerikan. Namun ketika lingchi dijatuhkan sebagai hukuman, hal itu pasti meninggalkan kesan mendalam.
Bisa dibilang, titik puncak lingchi terjadi pada masa Dinasti Liao dan Song Tiongkok. Sebagai indikasi betapa lazimnya praktik ini, pada abad ke-12, seorang aktivis anti-lingchi merasa terdorong untuk menulis kritik pedas terhadap praktik tersebut, dengan alasan bahwa:
“Ketika otot-otot daging sudah diambil, nafas kehidupan belum terputus, hati dan hati masih terhubung, penglihatan dan pendengaran masih ada. Hal ini berdampak pada keharmonisan alam, merugikan pemerintahan yang baik hati, dan tidak pantas bagi generasi orang bijak.”
Sayangnya, seruannya untuk mengakhiri lingchi tidak diindahkan selama delapan abad berikutnya.
Lingchi di Zaman Modern
Source | : | History Defined |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR