Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru membawa kabar buruk bahwa sebagian besar masyarakat pesisir dunia akan menghadapi banjir 100 tahun setiap tahunnya pada akhir abad ini.
Banjir 100 tahun adalah ketinggian air ekstrem yang memiliki peluang terlampaui sebesar 1% pada tahun tertentu dan didasarkan pada data historis.
Terlepas dari namanya, banjir 100 tahun dapat melanda wilayah yang sama selama beberapa tahun berturut-turut atau tidak sama sekali dalam satu abad.
Namun sebuah studi baru menemukan bahwa tren historis tersebut tidak lagi memberikan gambaran akurat mengenai banjir di masa depan.
“Ambang batas yang kami perkirakan akan terlampaui rata-rata setiap seratus tahun sekali, akan lebih sering terlampaui di iklim yang lebih hangat sampai hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai peristiwa 100 tahun,” kata Hamed Moftakhari, seorang insinyur sipil dan profesor di University of Alabama yang mengawasi proyek tersebut, seperti dikutip dari keterangan tertulis kampus tersebut.
Makalah studi baru Moftakhari dan rekan-rekannya itu telah dipublikasikan di jurnal Earth’s Future. Studi ini melibatkan penelitian interdisipliner tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan planet kita dan penghuninya.
Di pesisir pantai, banjir ekstrem dapat disebabkan oleh air yang terdorong ke daratan akibat badai, pasang surut, dan gelombang laut. Namun penelitian ini berfokus pada komponen yang berkontribusi terhadap banjir dalam jangka waktu yang lebih lama, yaitu kenaikan permukaan laut.
Ketika air laut naik ke pesisir, infrastruktur pesisir akan semakin dekat dengan perairan, sehingga badai, pasang surut, dan ombak lebih mungkin berdampak pada masyarakat.
Para peneliti menggunakan data dari lebih dari 300 alat pengukur pasang surut di seluruh dunia untuk melakukan analisis tren dan memperkirakan permukaan air laut ekstrem di masa depan berdasarkan dua skenario emisi karbon yang diuraikan oleh Panel Internasional tentang Perubahan Iklim.
Kedua skenario itu adalah jika emisi karbon dioksida terus meningkat hingga akhir abad ini dan jika emisi karbon dioksida mencapai puncaknya pada tahun 2040 dan kemudian menurun.
Dalam kedua skenario tersebut, mereka menemukan bahwa kenaikan permukaan laut akan menyebabkan peningkatan kejadian banjir dalam 100 tahun di sebagian besar lokasi yang mereka pelajari.
Pendekatan proaktif terhadap perencanaan lahan, pembangunan perkotaan dan langkah-langkah perlindungan pesisir dapat membantu masyarakat mengurangi banjir dan menghindari bencana, kata Moftakhari, dan hal itu dimulai dengan perkiraan realistis mengenai kondisi pantai di masa depan.
Membangun masa depan yang lebih aman
Para insinyur yang merancang struktur seperti tanggul laut, tembok laut, dan pemecah gelombang untuk melindungi masyarakat pesisir dari banjir ekstrem ini mengandalkan konsep yang disebut stasioneritas untuk memprediksi ketinggian air di masa depan.
“Dalam stasioneritas, kita berasumsi bahwa pola yang kita amati di masa lalu tidak akan berubah di masa depan, tetapi ada banyak faktor dalam perubahan iklim yang memodulasi pola ini,” kata Moftakhari. “Kita tidak bisa lagi mengandalkan asumsi stasioneritas dalam banjir pesisir.”
Penelitian-penelitian sebelumnya mengandalkan perkiraan stasioner permukaan laut ekstrem untuk memprediksi banjir 100 tahun. Namun penelitian ini menggunakan metode non-stasioner dan menemukan bahwa pergeseran permukaan laut ekstrem tidak akan seragam di banyak lokasi pengukur pasang surut.
Seiring dengan perubahan iklim, suhu laut yang lebih hangat dan pencairan gletser menyebabkan permukaan air laut naik, sehingga meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan banjir di wilayah pesisir.
Oleh karena itu, para insinyur memerlukan perkiraan akurat mengenai risiko banjir di masa depan, dan tidak berasumsi bahwa perubahan masa depan akan mencerminkan pola pesisir di masa lalu.
“Yang membuatnya sangat menantang adalah sebagian besar alat, pedoman desain, manual praktik, dan lainnya semuanya didasarkan pada asumsi stasioneritas,” kata Moftakhari. “Hal-hal tersebut perlu diperbarui agar kita dapat mengimbangi laju perubahan.”
Lebih dari 600 juta orang tinggal di daerah pesisir dataran rendah, menurut penelitian lain. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat. Struktur pertahanan pesisir yang dirancang dengan baik berperan penting dalam kemampuan masyarakat pesisir dalam menahan banjir besar.
Meskipun rata-rata permukaan air laut meningkat, dampaknya tidak akan sama di semua tempat. Daerah lintang yang lebih tinggi mungkin mengalami penurunan permukaan laut karena lapisan es tebal mencair dan daratan di bawahnya naik.
Alternatifnya, kawasan seperti Teluk Meksiko mengalami tingkat kenaikan permukaan air laut yang lebih cepat dibandingkan rata-rata global karena daratannya perlahan-lahan tenggelam. Menurut Moftakhari, masyarakat pesisir memerlukan solusi unik berdasarkan informasi lokal agar sesuai dengan kebutuhan mereka.
“Kita tahu bahwa permukaan air laut meningkat, pertanyaannya adalah: bagaimana kita akan menghadapinya?” kata Moftakhari.
“Kita telah melihat bahwa banyak bagian pesisir yang terendam banjir secara permanen dan kehilangan daratan, dan banyak kota serta pulau-pulau pesisir mengalami banjir lebih sering dibandingkan masa lalu – inilah saatnya untuk belajar bagaimana menangani ketidakstasioneran.”
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR